PLL | 46

211 32 9
                                    

Meski enggan, Laura akhirnya pulang juga ke kontrakan yang selama beberapa bulan ini ia tempati.

Memasuki ruang tengah, ditatapnya seluruh keluarga inti Sanchez yang telah berkumpul satu per satu. Ada Papi, Mami yang nampak bugar juga kakaknya Gabriel.

Melihat keadaan mereka yang jauh lebih baik dari sebelum-sebelumnya membuat Laura menghela napas berat. Ia merasa kecewa. Terlebih, ia tak menyangka bisa dibodohi oleh mereka dengan semudah ini.

Gabriel yang menyadari kepulangan Laura membuka suaranya. "Sini, duduk!"

Tanpa banyak kata, kedua kakinya ia langkahkan mendekati sofa dan duduk di hadapan ketiganya. 

Sang Papi menghela napas pelan nampak ingin menjelaskan segala keruwetan yang terjadi sebelum Gabriel menatapnya dan menggelengkan kepala pelan, seolah meminta Papi untuk tetap diam. 

"Sebelumnya, Abang mau minta maaf ke kamu. Maafin kita yang udah bohongin kamu. Meski begitu, kamu harus tau kalau kita cuma ingin yang terbaik untuk kamu," ucap Gabriel membuka suara. Laura menghela napas berat. Ia sudah terlalu kecewa hingga tak dapat mengeluarkan emosinya lagi.

"Kenapa? Kenapa kalian tega bohongin aku?" tanya Laura dengan nada datar. Kedua matanya menatap tajam pada Gabriel. Dengan tatapan mata yang melembut, Gabriel menjawab. "That's all for your good sake, Sweety."

Laura mendengus kasar. 'For my good sake', katanya?! Mau baik atau tidaknya, kebohongan itu tetaplah kebohongan!

Seketika, Laura berseru marah. "Apanya yang untuk kebaikan? Abang tau gak gimana depresinya aku, frustasinya aku ngehadapin kebangkutan palsu kita dalam sehari semalam? Ditambah, Mami yang tiba-tiba masuk rumah sakit. Aku ketakutan saat itu, Bang. Itu masa-masa terburuk seumur hidup aku. Abang gak tau kan gimana perasaan aku saat itu? Gimana hancurnya aku? Dalam waktu kurang dari 24 jam, aku dipaksa untuk bangkit dari kemiskinan yang terjadi secara tiba-tiba itu. Aku bahkan gak punya cukup waktu untuk memikirkan jalan keluarnya."

Lalu, Laura teringat dengan kegilaan-kegilaannya saat itu dimana ia menargetkan para pengusaha muda yang dapat ia nikahi. Bagaimana ia merendahkan dirinya sendiri di hadapan James dan bagaimana ia harus menahan diri akan semua yang terjadi.

Itu semua membuat dadanya sesak. Andai saja keluarganya ini tahu imbas lain dari kebohongan yang mereka buat, Laura jamin, akan ada pertumpahan darah yang terjadi di antara Williams dan Sanchez. Syukur-syukur kalau masih ada yang mampu bertahan hidup sampai akhir. Tapi, Laura sendiri meragukan itu. Jelas, kalau pertumpahan darah itu benar-benar terjadi, tidak akan ada yang bisa selamat baik Williams maupun Sanchez.

"Abang gak tau gimana gilanya aku saat itu," ucap Laura dengan nada yang lirih. Membuat ketiga manusia yang duduk di seberangnya merasa semakin bersalah.

Papinya berinisiatif untuk menggenggam erat kedua tangannya diikuti oleh sang Mami.

"Maafin Papi, Sayang."

"Maafin Mami juga. Mami gak pernah mau ngebohongin kamu."

Masih dengan tatapan lembutnya, Gabriel ikut menambahi. "Abang juga. Maafin Abang, tapi Abang ngelakuin ini semua demi kebaikan kamu sendiri. Abang tau kamu lagi taruhan sama temen-temen kamu yang lain."

Mendengar ucapan dari Gabriel itu membuat Laura tersentak pelan. Ia bertanya-tanya di dalam hati, 'Bagaimana bisa Gabriel tahu?'

Gabriel menjawab sorot mata keingintahuan Laura dalam satu kalimat. "Anneth yang kasih tau Abang."

Laura terdiam. Ia tak menyangka Laura akan membocorkan rahasia kecil mereka pada keluarganya.

Pretty Little Liars | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang