PLL | 33

199 24 13
                                    

"APA?!" seru James terkejut saat mendengar permintaan Laura yang tak masuk akal dan tak bisa diterimanya itu.

"Kenapa?" tanya Laura pura-pura polos. James berdecak kesal. "Kamu bisa minta apapun, tapi nggak untuk yang satu itu."

Laura berpikir sebentar. Sebelah tangannya ia topangkan di bawah dagu. "Oke, aku ganti!" tukas Laura tak lama kemudian. James nampak menghela napas lega. "Gimana kalau kamu langsung nikahin aku aja?" lanjut Laura kemudian.

James tersentak kaget hingga ia tanpa sengaja menginjak rem mobilnya sekaligus. Secara refleks, tubuh keduanya terlempar pelan ke depan.

Tak lama, terdengar suara klakson yang saling bersahut-sahutan dari pengendara lain yang berada di belakang mereka. James dengan cepat tersadar dan kembali menjalankan mobilnya kembali.

"Kamu gila?!" umpatnya pada Laura. Laura menggedikkan kedua bahunya takacuh.

"Kamu sendiri yang bilang. Aku boleh minta apapun itu." balas Laura tanpa merasa bersalah.

"Berpura-pura menyukai kamu saja saya tidak sudi, apalagi menikahi kamu? Gila!" seru James yang sudah tak mampu lagi menyembunyikan rasa kesalnya.

"Kalau gitu, kembali ke permintaan awal aja. Sukai aku," balas Laura lagi, ngeyel.

James memilih untuk tak menjawab perkataannya. Mulut Laura semakin gatal. Pada akhirnya, ia memutarkan tubuh hingga menghadap ke arah James.

"Tapi kalau dipikir-pikir, gak ada salahnya juga nikahin aku. Yang ada, perusahaan Williams jadi untung banyak. Pak Arthur, tadi itu masih salah satu dari sekian banyak pihak yang bisa diajak kerja sama oleh kamu seandainya jadi suami aku nanti. Itu kalau Williams dan Sanchez belum bergabung. Kalau perusahaan kita digabungkan, pasti akan semakin banyak pula keuntungan yang akan didapat."

Laura kembali membujuk James. Kali ini dengan membawa nama perusahaan keluarganya yang telah lama gulung tikar sebagai pemanis.

Ada bagusnya juga info kebangkrutan Sanchez ini tidak terdengar oleh pihak luar. Meski ia sendiri merasa heran, tapi selagi itu menguntungkannya, Laura tidak begitu peduli.

Syukur-syukur kalau bujukannya kali ini mampu membuat James tergoda. Kalau tidak pun, rasanya ia tidak akan begitu rugi. Penawaran pertamanya barusan juga sudah cukup bagus.

"Mulia sekali. Memikirkan keuntungan perusahaan lawan dibanding perusahaan sendiri. Benar-benar aneh."

Laura memilih untuk diam. Perkataan James tadi itu bisa jadi bumerang bagi dirinya sendiri. Jadi lebih baik kalau ia tetap diam.

"Sudah. Lebih baik kamu urusi saja urusanmu sendiri. Dan jangan ungkit-ungkit lagi permintaan bodohmu itu!" ucap James lagi.

"Baik! Kita ke persetujuan awal berarti. Sukai aku," balas Laura kemudian dengan keras kepala. James menggeram penuh rasa kesal. "Kamu... Benar-benar!"

Laura tertawa puas di dalam hatinya. Tentu, ia tidak ingin dirugikan. Ia tidak akan membiarkan James menikmati keuntungan yang sepihak itu.

"Ah! Satu lagi."

"Ada lagi? Kamu jangan keterlaluan, Laura!" hardik James dengan cukup kasar.

"Yang ini mudah saja. Cukup berhenti pakai panggilan saya-kamu. Terlalu kaku! Orang-orang gak akan mudah percaya dengan hubungan kita. Kamu perlu meyakinkan Pak Arthur, 'kan?"

"Jadi pakai aku-kamu, begitu?" tanya James memperjelas maksud ucapannya. Laura menjawabnya dengan anggukan kepala. "Say-ak..." James menghela napas berat. Ia terlihat menenangkan dirinya sendiri sebelum kembali berucap, "Aku ... belum pernah pakai panggilan nonformal begitu ke orang luar, selain keluarga."

Pretty Little Liars | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang