Beres dengan semua pekerjaan di unit James, Laura segera menuju sekolahan Abraham sambil membawa lunchbox yang telah ia persiapkan sebelumnya. Sebenarnya, masih ada setengah jam lagi sampai Abraham pulang sekolah. Tapi Laura memutuskan untuk pergi lebih cepat. Lagipula, ia juga bosan diam di unit James saja. Unitnya tidak asyik! Tidak menyenangkan seperti unitnya dulu. Tidak ada playstation juga buku-buku novel.
Sepi sekali!
Tapi kalau dipikir-pikir, unit James biarpun tidak dibersihkan satu hari saja juga tidak terlihat kotor. Ah, besok-besok, Laura tidak akan bekerja terlalu keras.
Saat Laura sampai di sekolahan Abraham, sekolah masih sepi. Hanya ada beberapa orang tua dan wali murid yang saling membentuk kelompok dan mengobrol bersama.
Yah, semacam kelompok arisan mungkin?
Tak ingin menghabiskan waktu berdiam diri di dalam mobil, Laura memutuskan untuk berkeliling. Ia sengaja naik ke lantai atas untuk mencari kelas Abraham. Noah bilang, kelasnya di lantai kedua. Tapi ia bahkan tidak menyebutkan detailnya.
Ia berjalan pelan, takut menimbulkan suara keras yang akan mengganggu kegiatan belajar mengajar. Kepalanya ia tengokkan ke kanan dan ke kiri, mencari papan nama kelas bertuliskan 4B.
Tak lama, Laura menemukan kelas Abraham. Ragu-ragu, ia mengintip isi kelas dan mengedarkan pandangan ke penjuru arah demi menemukan sosok anak lelaki itu. Senyumnya muncul tatkala menemukan sosok Abraham yang tengah fokus mencatat materi.
Aneh juga rasanya. Ia seperti memiliki adik kecil yang harus dijaga. Apa Abangnya merasakan perasaan seperti ini juga?
Selayaknya merasakan kehadiran Laura, Abraham menengokkan kepalanya ke jendela. Laura tersentak pelan sebelum melambaikan tangannya, menyapa Abraham. Abraham menyambut lambaian tangan itu dengan senyuman cerah.
Tak mau mengganggu fokusnya, Laura memilih untuk mengalihkan pandangan. Dan mendudukkan diri di atas kursi panjang yang ada di depan kelas Abraham. Sambil menunggu bel pulang berbunyi, Laura memilih untuk memainkan ponselnya yang telah lebih dulu diatur ke mode senyap.
***
"Aku kira Om Noah bohong!" cerita Abraham begitu mereka berada di dalam mobil Laura. Laura mendengarkannya dengan senang hati. "Emang Om Noah suka bohong?"
"Gak gitu..." Abraham mengelak sembari menggelengkan kepalanya berkali-kali. Laura gemas sendiri melihatnya.
"Beberapa hari ini, Kakak yang jemput kamu. Sampai urusan Kak Laelah beres," jelas Laura memberi pengertian. Abraham mengangguk paham.
"Aku seneng dijemput kakak! Kita main, yuk!"
"Main?"
Abraham menganggukkan kepalanya antusias. Laura melirik ke arah jam kecil di dashboard mobilnya yang menunjukkan waktu makan siang.
"Mm, kita makan siang aja dulu, ya?"
***
Layaknya karyawan tetap, dengan penuh percaya diri aku memasuki perusahaan James dengan langkah ringan. Abraham yang berada dalam gandenganku nampak takjub dengan kemegahan gedungnya. Dalam hati, aku berdecak pelan. Seandainya dinasti yang dibangun puluhan tahun oleh keluarga Sanchez tidak runtuh dalam sehari semalam, bangunan ini tentu tidak ada apa-apanya.
Masuk ke perusahaan seperti ini memang tidak akan pernah mudah. Belum apa-apa, sudah dicegat oleh resepsionis di lantai bawah. Tapi bukan Laura Sanchez namanya kalau untuk masuk perusahaan begini saja tidak bisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pretty Little Liars | ✔
Romance[ Seri kedua dari Marriage In Rush ] Sebagai pencetus taruhan semasa SMA, Laura Sanchez--sang gadis kaya raya dari keturunan konglomerat Sanchez yang terkenal itu--tentunya tidak boleh kalah. Ia harus menikah tahun ini. Ia tidak boleh kalah dari Agn...