PLL | 23

195 26 6
                                    

VOTE NYA JANGAN LUPA!!

Kok bisa nyasar kesini? 

Ikutin seri pertamanya juga gak?

***

Untuk sesaat, Noah mengalihkan tatapannya pada sang keponakan yang tengah memeluknya sebelum kembali menatap lelaki di hadapannya. 

Kalau saja Abraham tak datang menyambutnya, ia pikir dirinya telah salah memencet bel.

Seingatnya, Laura memang pernah bilang kalau unit ini bukan kepunyaannya. Katanya, dia cuma kerja di sini. Jadi, apa mungkin  lelaki di hadapannya ini adalah ... bosnya?

"Oh, Noah! Kamu mau jemput Abraham?" 

Suara Laura menyambut dari balik punggung James. Noah menanggapi sambutan itu dengan senyuman simpul.

"Iya. Saya gak enak terus-terusan ngerepotin kamu untuk nganterin Abraham ke unit saya. Lagipula, dari kemarin saya udah punya niat untuk jemput Abraham."

Laura, yang kini telah berdiri di hadapan Noah mengangguk-anggukkan kepala.

James mengamati keduanya dengan dahi berkerut. Ia ingat saat anak itu memanggilnya dengan sebutan om. Jadi ini paman si anak tetangga itu? 

Merasa tidak memiliki peranan penting di sana, James membalikkan badan dan pergi menjauh.

"Mm, soal Laelah... Dia udah bisa kembali kerja besok. Jadi kamu gak perlu jemput Abraham lagi."

"Cuti Laelah udah selesai? Saya kira masih ada satu hari lagi."

Noah menganggukkan kepala, membenarkan ucapan Laura. "Memang. Tapi dia ngotot untuk kembali kerja besok. Katanya dia merindukan Abraham. Lagipula, suaminya sudah sembuh sejak beberapa hari yang lalu. Jadi dia bisa kembali kerja dengan tenang."

"Meski begitu, kamu masih bisa main ke sini ya, Abraham?" ucap Laura pada Abraham. 

"Kakak akan terus tinggal di sini? Untuk waktu yang lama?" 

Pertanyaan dari Abraham itu membuat Laura terdiam sejenak. Sejujurnya, ia juga tidak tahu. Masa depan Laura masih abu-abu. Tidak jelas. Dan tidak akan pernah jelas sampai ia menjadi bagian dari keluarga Williams.

Noah yang merasakan aura kelabu dari Laura pun mencoba mencairkan suasana. "Nanti saya kabari kalau-kalau Abraham mau ke sini lagi."

Laura setuju. Dan tak lama kemudian, om dan keponakannya itu segera pamit.

Saat ia kembali, Laura melihat ibu dan anak itu tengah saling mengobrol di sofa ruang tengah. Seketika, ia merasa cemas. Bagaimana kalau Tante Kamila mengetahui kebenarannya?

Di dalam hati, Laura merasa menyesal karena sudah bertindak lengah. Padahal seharusnya ia bisa memanfaatkan kesalahpahaman ini. 

"Ma, please stop. Mama salah paham!" 

Mendengar sanggahan dari James itu membuat Laura jadi semakin khawatir. Ia memutar otak. James harus berada dalam genggamannya. Dan kesempatan itu datang. Jelas, ia tidak boleh menyia-nyiakannya.

Laura sudah akan membuat bantahan atas pernyataan James sebelumnya saat Kamila kembali berbicara. "Kamu ga perlu cemas, Sayang. Mama ada di pihak kamu."

James terlihat frustasi dengan kekeraskepalaan mamanya itu. Sedangkan Laura tersenyum girang. Sudah jelas, Kamila berada di pihaknya.

"Jamess..." panggil Laura tanpa dapat menyembunyikan rasa senangnya. Kedua menengokkan kepala. Satu dengan ekspresi senang, satu lagi ekspresi memuakkan. Melihat itu, Laura jadi mengurungkan niatnya untuk memeluk James. Bisa-bisa, ia ditendang langsung setelahnya. Jadi, Laura mengambil pilihan aman untuk duduk di hadapannya saja. Ia menghiraukan tatapan jijik James padanya. Untuk saat ini, ia akan pura-pura tak melihat ekspresi menyebalkannya itu.

"Abis ngapain, Sayang? Abraham mana?" tanya Tante Kamila lembut. Ia jadi rindu maminya di rumah. Sayangnya, ia tidak bisa melihat maminya lama-lama atau ia akan menangis tersedu saat itu juga. Itu memalukan. Ia tidak mau mami menyebutnya cengeng. Kalau maminya saja kuat, maka Laura harus lebih kuat.

"Itu ... Tadi omnya Abraham jemput. Terus aku ngobrol dulu sebentar."

Kamila mengangguk paham. "Oh, ya. Udah lama Tante ga liat mami kamu. Bahkan sebelum Tante ke Paris aja mami kamu udah jarang keliatan. Kemana aja dia? Lagi di luar?"

Laura terdiam sejenak. Tanpa bisa dihindari, James menatap Laura juga. Ikut merasa penasaran. Selama berbulan-bulan menjadi bawahannya, mereka memang tak pernah membahas tentang keluarga Sanchez. James pikir, itu tidak penting. Tapi ia sendiri juga tidak menyangka kalau dirinya akan tertarik dengan topik pembahasan kali ini.

"Mm ... Mami ... Iya! Mami lagi di luar," jawab Laura terlihat meyakinkan. Padahal ia sendiri tengah diselimuti kekhawatiran. Kalau kedua orang itu memperhatikan, jari jemari Laura tidak dapat berhenti bergerak di pangkuannya. Tanda yang telihat sangat jelas sekali kalau Laura tengah menutupi sesuatu.  

"Ohh... Pantas. Waktu charity event Tante yang terakhir kali juga mami kamu absen. Tante takut dia sakit atau apa. Syukur kalau mami kamu baik-baik aja."

Laura menanggapi itu dengan tawa kering. Membuat James yang sedari tadi memperhatikannya menyimpan rasa curiga.

Dari awal kemunculannya yang tiba-tiba, James sudah merasa ada yang tidak beres. Bagaimana ceritanya anak dari perusahaan saingan melamar ke perusahaannya secara terang-terangan? Terlalu tidak tahu malu dan mencurigakan.

Kalau Laura bukan mata-mata perusahaan keluarganya ...

Lantas apa lagi?

Jadi, ia menyimpan Laura sebagai semi-tawanan dengan menjadikannya asisten pribadi. Atau istilah kasarnya, tukang bersih-bersih di apartemennya.

Tentu saja, dengan pengawasan yang ketat.

Dia punya bawahan lainnya di kantor yang ia percayai untuk mengawasi CCTV di unitnya. Tujuannya jelas. Jadi saat Laura tepergok memasuki ruang kantornya dan mengacak-acak seisinya, ia punya alasan kuat untuk segera menendangnya keluar. Tentunya, dengan sedikit hukuman lain yang tak bisa ia jelaskan secara rinci. 

Dengan begitu, kecurigaan James di awal bisa dibenarkan. Dan mungkin, ia juga bisa mengambil sedikit bagian dari perusahaan Sanchez itu sebagai kompensasi.  

Namun selama berbulan-bulan berkeliaran di dalam unitnya, tangan kanannya selalu melaporkan hal-hal yang positif mengenai Laura. Katanya, pekerjaan Laura tidak jauh-jauh dari membersihkan debu-debu, mengepel, mengganti air di vas bunga, atau memasak. Tapi katanya, akhir-akhir ini Laura banyak menghabiskan waktu dengan game konsol barunya itu. Atau ikut mengamati ikan-ikan di akuarium bersama si anak tetangga. Jelas bukan jenis laporan yang ingin James dengar.

Sesekali, James ikut mengawasi lewat ponselnya hanya untuk mendapati bahwa seluruh laporan yang diberikan tangan kanannya itu tepat sasaran.

James kesal. Ia tidak dapat membaca maksud dan tujuan Laura. Sama sekali buta akan rencana musuhnya. Membuatnya terlihat bodoh dan tak kompeten. Padahal seluruh penjuru negeri juga mengakui kehebatannya.

Tanpa dapat dicegah, James mulai menaikkan minatnya pada wanita di hadapannya ini. Ia menjadi semakin penasaran.

Ditambah lagi, Laura nampak enggan menyingkirkan kesalahpahaman yang terjadi di antara mereka dengan mamanya. Kecurigaan James semakin meningkat. Banyak persepsi-persepsi buruk bermunculan di kepalanya.

Jadi untuk sementara waktu ini, ia akan membiarkan kesalahpahaman itu berlanjut. Ia ingin tahu, sampai di mana semua ini akan berakhir?

 Ia ingin tahu, sampai di mana semua ini akan berakhir?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pretty Little Liars | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang