Happy Reading ~~~
Pagi ini cukup membuat mood Allisya semakin rusak apalagi karena kedatangan Laura-kekasih sepupunya itu. Allisya memijit pangkal hidungnya, sejak tadi ia sedang mendengar perdebatan keduanya. Haruskah mereka menyelesaikan permasalahan mereka di dalam ruangan Allisya? Ingin mengabaikan namun suara Laura cukup menganggu dirinya.
"Kenapa akhir-akhir kau selalu mengabaikanku?" tanya Laura yang kesal, sedangkan yang ditanya sejak tadi sudah menjelaskannya berulang kali. Allisya berpikir keras, entah Dave yang tidak dapat di percaya atau memang Laura yang sedikit berlebihan menanggapinya.
"Aku sudah jelaskan sejak tadi. Kalau aku sedang sibuk mengurus pekerjaan apalagi akhir-akhir ini aku sering berada di luar kota." Dave terlihat berusaha menenangkan Laura namun Laura nampak tidak peduli.
"Ck! Kau pergi bersama sekretarismu ini 'kan?!" bentak Laura sambil menunjuk ke arah sekretaris Dave yang menunduk sejak tadi. Fiya nama wanita itu entah bagaimana harus bersikap, sebenarnya ia memang menaruh hati pada atasannya itu tapi dia cukup sadar diri apalagi atasannya itu sudah memiliki kekasih.
"Dia sekretarisku. Tentu saja dia harus ikut, dia yang mengatur segala keperluanku. Sudahlah jangan membesarkan masalah kecil."
"Masalah kecil? Aku ini kekasihmu Dave! Tentu saja aku mempermasalahkannya."
"M-maaf, Nona. Saya benar-benar tidak ada hubungan apapun dengan Pak Dave," ucap Fiya pelan.
"Tck! Jangan mengelak!" bentak Laura.
"Apa kalian sudah selesai!?" tanya Allisya kesal membuat semuanya terdiam. "Jangan memulai keributan hanya karena pemikiran pendekmu itu, Laura. Kau seharusnya mengerti Dave itu sibuk menggantikan ku bukan karena ada wanita lain dan tentang Fiya wajar saja dia selalu ikut bersama Dave."
"Kau tidak perlu ikut campur, Sya! Ini bukan urusanmu," balas Laura kesal.
"Baiklah. Aku juga tidak ingin terlibat dalam permasalahan kalian. Sekarang selesaikan permasalahan kalian diluar, jangan membuat keributan di ruangan ku!" Allisya menunjuk ke arah pintu keluar. Laura menatap Dave semakin kesal, Dave pun menghela napas pelan lalu menarik tangan Laura untuk keluar dari ruangan Allisya.
"Saya permisi, Bu." Fiya melangkah menuju pintu, sebelum benar-benar sampai Allisya memanggil Fiya.
"Fiya."
"Iya, Bu."
"Aku lebih suka kau dengan Dave, tapi kau harus hati-hati dengan wanita ular itu. Dia bisa saja sewaktu-waktu mengigitmu jika kau lengah." Pesan Allisya membuat wajah Fiya merah merona, bagaimana bisa Allisya tau jika ia menyukai atasannya.
"Aku tau kau menyukainya. Mungkin bisa saja dia berpaling darimu, jika kau benar-benar menyukainya siapkan mental dan batinmu. Semangat."
"H-hm. T-terima kasih, Bu." Fiya tersenyum pada Allisya lalu setelah itu ia pergi.
Dave terus menarik Laura entah kemana, ia juga tidak menyangka Laura akan datang ke ruangan Allisya saat mereka sedang rapat. Sedangkan beberapa karyawan sudah di suruh kembali berkerja sebelum mereka melihat pertengkaran bosnya itu.
Para karywan menatap bingung keduanya, saat mereka masuk ke dalam lift. Tak ada yang berani menengur atau bersuara sedikit pun apalagi ingin bermasalah dengan bos mereka. Mereka lebih memilih berpura-pura tidak melihat apapun.
Saat Dave dan Laura sudah sampai di lantai dasar, keduanya tidak sengaja bertemu dengan Brian yang sedang berkunjung ke perusahaan Allisya. Memang bukan tanpa sengaja, Brian ingin mencari Allisya yang tidak bisa di hubungi sejak kemarin.
"Untuk apa kau kemari?" tanya Dave tak suka, Brian hanya menatap santai keduanya.
"Brian?" gumam Laura pelan.
"Long time no see, Laura." Bukannya menjawab pertanyaan Dave Brian malah menyapa Laura. Brian memperhatikan tautan tangan keduanya.
"Ck! Tidak perlu basa-basi. Ayo kita pergi." Laura menarik tangan Dave untuk pergi dari sana. Brian terkekeh melihat Dave di perlakukan oleh Laura seperti itu. Padahal dilihat Dave bukan pria yang penurut tapi entah mengapa Laura malah bisa memonopoli Dave.
Brian kembali berjalan ke ruangan Allisya, tanpa mengetuk pintu ia langsung masuk.
"Kau terlalu memanjakan wanita ular itu, Dev. Sampai-sampai ia sering membuatku sakit kepala," omel Allisya tanpa melihat siapa yang masuk."Seorang laki-laki tentu saja harus memanjakan wanitanya. Apalagi wanita yang dicintainya," balas Brian membuat Allisya seketika terdiam. Allisya menoleh ke arah pintu dan benar saja Brian berdiri di depan sana sambil tersenyum tipis msmbuat wajahnya semakin tampan. Allisya tidak membalas senyuman Brian, ia kembali sibuk pada kertas-kertasnya diatas meja. Ia masih kesal dengan kejadian kemarin padahal Brian tidak tahu apa-apa.
Brian sedikit heran dengan reaksi Allisya. Brian berjalan mendekat ke arah meja. "Untuk apa kesini?" tanya Allisya tanpa basa basi.
"Tentu saja menemui kekasihku," balas Brian santai lalu duduk di hadapan Allisya. "Apa aku membuat kesalahan?"
"Tidak ada. Aku hanya sedang banyak kerjaan. Jika tidak ada hal penting kamu bisa pergi," ucap Allisya dingin membuat kening Brian mengerut.
Brian berdiri dan melangkah mendekat ke arah Allisya. Mengusap kepala Allisya dengan lembut," Jangan terlalu banyak bekerja, aku tidak mau sampai kau kelelahan dan sakit. Atau aku suruh saja Dave yang mengantikanmu untuk sementara waktu?"
Allisya menikmati usapan tangan kekar Brian di kepalanya, amarah yang tadinya memuncak sedikit demi sedikit menghilang. Rasanya ia tidak bisa marah pada kekasihnya ini.
"Jangan menganggu waktu Dave, Bri. Ini tanggung jawabku." Allisya menatap kedua mata Brian yang membuat Allisya jatuh ke dalam pesona Brian.
"Maaf," satu kata itu lolos dari bibir bewarna peach itu.
"Untuk?" tanya Brian sambil terus menatap kedua mata Allisya.
"Karena sudah mengabaikanmu."
Brian tersenyum lembut terlihat sangat tampan, jarang sekali seorang Brian Stevano memperlihatkan senyuman lembutnya selain pada orang-orang yang dicintainya. Brian mengecup pucuk kepala Allisya membuat Allisya memejamkan matanya. Seharusnya ia tidak melampiaskan amarahnya pada Brian. Allisya memeluk pinggang Brian, menyadarkan kepalanya.
'Maaf kalau aku meragukanmu,' batin Allisya.
°°°
Kedua kaki kecil itu terus melangkah menuju kelasnya, sepanjang perjalanan beberapa orang menyapa dirinya. Namun, Aldric Stevano tetaplah Al putra Brian Stevano yang jarang berinterkasi dengan orang asing walaupun teman sekolahnya.Saat ia masuk ke dalam kelas, matanya tertuju pada gadis berwajah pucat namun terlihat sangat manis, bibir mungilnya itu terus saja berceloteh kepada saudara kembarnya. Siapa lagi kalau buka Vio dan Tio teman dekat Al.
"Dia kenapa?" tanya Al bingung seketika Vio pun berhenti memarahi saudaranya itu.
"Dia lagi gambar terus gak sengaja kena jadi gambarnya rusak." Tio menjelaskan dengan santai berbeda dengan Vio yang masih ngambek. Al sekarang mengerti permasalahannya, lalu ia teringat kejadian saat Brian merayu Allisya yang sedang marah. ( Al bilike : gak percuma gue punya bokap mantan playboy).
"Kata Papa jangan malah-malah telus nanti cantiknya hilang loh," ucap Al pada Vio bukannya membaik Vio malah semakin kesal.
"Jadi Vio gak cantik?" tanyanya.
"Bukan gitu. Vio cantik tapi kalau Vio gak malah-malah lagi nanti cantiknya nambah mungkin lebih cantik dali Mama Al." Tio yang mendengar itu hanya terkekeh geli saat melihat wajah adiknya yang tiba-tiba memerah bukan karena marah melainkan salah tingkah.
"Jadi Vio lebih cantik dari Mama Al?" cicit Vio pelan, Al membalas dengan anggukan. Seketika Vio langsung berjalan menuju Tio dan bersembunyi di balik tubuh Tio. Entah apa yang dia lakukan tapi wajahnya masih saja memerah sedangkan Al menatapnya bingung.
"Sepertinya ada yang salah tingkah," gumam Tio.
Tbc ...
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Daddy [ Selesai ]
Fanfiction"Maafkan aku, Brian. Aku harus pergi tolong jaga anak kita dengan baik, sayangin dia. Sekali lagi maafkan aku." Sepucuk surat yang ditinggalkan oleh seseorang yang mengaku telah melahirkan bayi diduga adalah anak dari seorang pemuda tampan bernama B...