Bagian 20

11.9K 881 13
                                    

Perjalanan ke makam Feli tidaklah jauh setelah sampai ketiganya turun dari mobil. Langit senja menghiasi perjalanan mereka menuju pemakaman Felicia. Sudah lama Allisya tidak datang kemari, setiap langkah yang ia pijak selalu membuat hatinya sedih, selalu begitu setiap ia mengunjungi Feli. Allisya bersyukur karena setelah sekian tahun akhirnya Felicia bertemu dengan putranya walaupun mereka sudah berbeda tapi Allisya rasa itu cukup mengobati rasa rindu pada keduanya.

Aneke Felicia Lesham Shaenetta

Nama yang tertera pada batu nisan itu, Brian mengepal tangannya kuat. Ia marah pada dirinya sendiri, andaikan waktu dapat diputar kembali lagi ingin rasanya Brian datang dan meminta maaf pada Felicia saat itu juga. Namun, takdir tak memihak padanya. Ia banyak berbuat salah pada Feli, Allisya, serta keluarga mereka.

"Pah, kenapa kita di sini? Mama dimana?" tanya Al yang sejak tadi mencari seseorang.

"Sayang, ini Mama." Allisya menarik tangan Al pelan lalu mengusap batu nisan tersebut secara bersama. "Mama sudah tenang di alam sana."

"Mama kenapa ada di dalam sini, Tante?"

"Mama dulu sakit. Tapi sekarang sudah gak lagi, sekarang Mama sudah bahagia disana. Al kalau kangen sama Mama bisa kirimkan doa untuk Mama. Walaupun Mama tidak bersama kita lagi."

"Tante, Mama Al cantik gak?"

"Cantik. Sangat cantik. Dia lembut, penyayang terus selalu baik sama semua orang. Jadi Al harus jadi anak yang baik dan patuh sama Papa. Biar Mama bangga sama Al."

"Hmm. Al janji akan jadi anak yang baik."

Allisya tersenyum melihat Al yang begitu mengemaskan, walaupun di lubuk hatinya ia juga merasa sangat sedih. Allisya melirik Brian yang sejak tadi hanya diam saja. Allisya dapat melihat kekecewaan serta kemarahan dari wajah Brian saat ini. Allisya menghembuskan napasnya pelan, "Sebaiknya kita pulang sekarang. Hari sudah mau gelap," ajak Allisya.

"Al pamitan dulu sama Mama," pinta Allisya.

"Ma, Al pulang dulu. Nanti Al kesini lagi, sama Papa sama Tante juga," ucap Al dengan suara khasnya. Al dan Allisya beranjak dari sana, namun Brian masih bertahan di sana.

"Aku tunggu di mobil," ucap Allisya, ia tahu jika Brian butuh waktu untuk sendiri. Setelah Al dan Allisya pergi, Brian berjongkok di depan makam Feli.

"Maaf jika aku datang terlambat. Maaf atas perbuatanku, kau mengalami semua ini. Maaf jika aku belum pantas menjadi ayah yang baik untuk putramu. Maaf atas semuanya." Brian pria tangguh yang tak mudah untuk dijatuhkan oleh lawan bisnisnya saat ini berbanding tebalik. Ia sangat rapuh dan juga sedih.

"Maaf jika awalnya aku tidak menyukai putramu, karena saat itu aku belum siap untuk menjadi seorang Ayah. Tapi, lambat laun aku menyukainya. Tidak aku benar-benar menyukainya dan juga sangat menyayanginya, dia malaikat yang kau berikan untukku. Jika Al tidak berada dalam kehidupanku saat itu mungkin aku akan tetap menjadi Brian yang dulu. Al membantu ku mengubah sifat-sifat burukku. Jangan khawatir aku tidak akan mengecewakanmu untuk yang kedua kalinya dan terima kasih Feli semoga kau tenang disana." Brian mengusap batu yang bertulis nama Feli disana, dan tak terasa Brian menitikkan air matanya. Setelah mengungkap semua perasaannya, ia merasa sedikit lega.

"Aku akan kembali lagi. Semoga kau tenang disana. Aku pamit, sampai jumpa." Brian kembali menuju mobilnya. Dari kejauhan ia bisa melihat Allisya sedang tertawa dengan Al. Cukup membuat pemadangan di sore hari itu sangat indah walaupun mereka baru saja melepas kesedihan.

Saat perjalanan pulang keduanya hanya terdiam tak ada yang bersuara sedangkan Al sudah terlelap di kursi belakang. Allisya yang sejak tadi hanya memandang keluar jendela mobil pun bersuara.

"Jangan merasa bersalah, aku yakin Feli sudah mengikhlaskan ini semua." Brian mengalihkan tatapannya ke arah Allisya.

"Tapi aku merasa ini semua salahku," balas Brian yang kembali fokus mengendarai mobil.

"Aku yakin. Feli sudah memaafkanmu, Bri." Allisya menatap lekat ke arah Brian. "Jangan terlalu terpuruk dalam kesedihan. Dengan kau menyayangi Al, Feli sudah cukup bahagia disana."

"Sebenarnya apa yang terjadi pada Feli setelah melahirkan Al? Aku tidak menemukan sesuatu yang ganjal tapi aku tidak yakin dengan semua ini."

"Aku juga tidak yakin, setelah Feli meninggal aku menemukan beberapa foto di kamarnya. Aku tidak tahu jika sebelumnya Feli sudah mengenal Laura, Erga dan juga kau."

"Benarkah? Tapi aku tidak tahu jika aku mengenalnya sedangkan aku baru mengenalmu beberapa waktu lalu."

"Sepertinya foto itu diambil saat kalian sedang mengadakan pesta. Awalnya aku tidak yakin, buktinya kau tidak mengenal ku maupun Feli berarti kau memang tak pernah punya hubungan pada kami, tapi aku merasa ada yang tidak beres."

"Maksudmu aku dan Feli saat itu dijebak?"

"Entahlah. Tapi jika memang kalian di jebak, lalu siapa pelakunya? Dan untuk apa dia melakukan hal itu pada kalian."

"Setauku Laura kekasih sepupumu kan? Dan Erga, calon tunanganmu. Apa mereka tidak mengatakan apapun?"

"Aku tidak bisa mempercayai Laura. Wanita ular itu ..."

"Lalu bagaimana dengan Erga? Apa dia mengatakan sesuatu padamu?"

"Aku belum menanyakan hal itu."

"Apa kau benar-benar akan bertunagannya dengannya?" tanya Brian mendadak membuat Allisya menundukkan kepalanya.

"Entahlah. Aku juga tidak tahu. Pertunangan ini di atur oleh Ayahku, tapi setelah menjalani semuanya selama ini rasanya aku tidak ingin bertunangan dengannya."

"Apa ada seseorang yang sedang kau suka?"

Allisya menanggukan kepalanya, lalu tiba-tiba menggeleng membuat Brian terkekeh. Tangan kiri Brian menjulur ke kepala Allisya lalu ia mengusapnya dengan pelan. "Jangan di paksakan. Jika kau benar-benar menyukainya katakan kepadanya, jangan sampai kau menyesal."

Jatung Allisya berpacu cepat, hatinya seperti di porak-poranda oleh perlakuan kecil Brian.
"Jadi aku harus mengatakan kepadanya jika aku menyukainya?" tanya Allisya lalu menatap Brian.

"Tentu saja."

"Aku mencintaimu, Brian." Kata-kata yang keluar dari mulut Allisya membuatnya terkejut, seketika ia mengerem mendadak mobilnya. Untung saja Al menggunakan sabuk pengaman dan saking pulesnya tidurnya tidak terganggu sedikit pun.

"Apa yang kau katakan?" tanya Brian datar.

Allisya gugup, ia mengalihkan tatapannya ke arah lain.

"Allisya. Jawab pertanyaanku!"

"Tak perlu aku katakan lagi kau juga sudah dengar bukan?" Allisya menatap kesal ke arah Brian, wajahnya memerah rona. Brian menyeringai, membuat Allisya meneguk salivanya kasar. Brian menarik tangan Allisya membuat wajah keduanya sangat dekat, saking dekatnya dapat mereka rasanya deru napas keduanya. Dan mata Allisya seketika membulat saat Brian menempelkan bibirnya di kening Allisya. Lalu pindah ke pipi kanan dan kiri Allisya serta mengecup hidung Allisya.

"Yang ini nanti dulu," bisik Brian sambil mengusap bibir peach Allisya. Wajah Allisya semakin merah merona, ingin rasanya Allisya berlari jauh. "Aku tidak tahu perasaan ku saat ini bagaimana. Tapi yang aku tahu, aku tidak ingin jauh dari mu dan aku tidak rela kau bertunangan dengan Erga. Aku tidak akan meminta maaf karena telah merusak hubungan kalian."

"Kau brengsek, Brian." Allisya memukul bahu Brian pelan membuat Brian terkekeh.

"Love you, too." Brian menarik Allisya masuk ke dalam pelukkannya.

Tbc ...

My Perfect Daddy [ Selesai ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang