I've been seeing lonely people in crowded rooms
Covering their old heartbreaks with new tattoos
It's all about smoke screens and cigarettes
Looking through low lights at silhouettes
But all I see is lonely people in crowded rooms-HERJUNA-
Tubuhnya setengah basah karena berlari dari derasnya hujan di luar. Salahkan pada cuaca yang tiba-tiba berganti hingga dia tidak membawa payung yang tadi disodorkan oleh sekertarisnya ketika ingin beranjak makan siang yang sangat terlambat di luar kantor. Oh, dia memang menyalahkan segalanya yang terjadi di kota ini. Tempat dia tidak ingin kembali tapi harus kembali.
Jadi di sinilah dia. Masuk ke salah satu kedai kopi terdekat dengan jarum jam menunjuk angka empat sore. Pintu bergemerincing ketika dia membuka, harum kopi langsung memanjakan indra penciumannya. Dia suka kopi karena wangi, hangat, dan yang paling penting adalah pahitnya. Sekalipun dia bukan ahli kopi. Sungguh dia bersyukur bisa mendarat di kedai kopi sederhana namun memiliki tatanan ruang yang eksentrik ini.
Tubuhnya masih berdiri ketika matanya menyapu ruangan. Lihat saja grand piano yang ada di pojok ruangan, atau cello yang berdiri di sisi piano. Kursi dan meja juga tidak serupa, tidak ada yang sama hingga cangkir-cangkir kopi yang berderet di belakang meja counter yang menampilkan barisan rapih croissant dan berbagai macam roti gandum di dalam lemari kaca penghangat. Wangi roti juga sama menggodanya.
Bukan duduk, tanpa sadar dia melangkah mendekati pojok ruangan tempat piano dan cello berpasangan. Steinway and Sons, wow. Setahu dia harga merk piano itu tidak main-main.
"Selamat sore, selamat datang di kedai kopi langit."
Sudah ada seorang gadis berkuncir kuda yang berdiri menatapnya. Gadis muda ini manis sekali, dengan lesung pipi dalam ketika dia tersenyum. Mengenakan kaus polo shirt berwarna hitam dengan logo Kopi Langit dan jins biru terang, serta membawa buku menu yang siap disodorkan padanya.
"Mau duduk dimana, Mas?"
Dia langsung memutuskan dan duduk pada salah satu meja. Hanya ada empat pengunjung di sana. Mungkin karena hujan masih mengguyur di luar, atau memang ini baru menjelang jam pulang kantor.
"Biasanya customer yang langsung pesan. Di sini nggak begitu?" tanyanya.
"Lagi nggak terlalu ramai, jadi saya bisa menghampiri kesempatan." Gadis itu tersenyum lagi dengan mata yang cemerlang.
"Saya lapar, di sini jual nasi goreng?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Di sini jual kopi dan roti. Makanan yang agak berat ada sandwich roti gandum andalan atau croissant polos yang diisi daging dan sayur."
"Saya orang asli Indonesia, sukanya nasi goreng."
"Saya juga asli Indonesia, dan suka nasi goreng. Sayangnya kedai ini nggak jual. Mau saya belikan ke restoran sebelah?"
Matanya membelalak terkejut. "Emang boleh?"
Gadis itu mengangguk hingga kuncir kudanya bergoyang. "Boleh, katanya Mba Al rejeki itu nggak akan ketukar jadi..."
Dia terbatuk karena kaget mendengar nama itu. "Maaf, Mba Al itu siapa?"
"Mba Al itu pemilik kedai ini."
Jantungnya langsung bereaksi, oh dia benci ini. Kenapa bisa tempat makan pertama yang dia kunjungi di kota ini pemiliknya bernama sama, atau bahkan orang yang sama?
"Sorry, Mba Al itu nama panjangnya siapa?"
"Mas, kenal sama Mba Al?"
Detak jantungnya berantakan. Jika ini Alea yang sama, dia bukan hanya kenal, wanita itu ada di dalam setiap mimpi-mimpinya. Rindu yang menyiksa bertahun-tahun lamanya adalah rindu untuk wanita yang sama. Wanita yang bukan miliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
This City
RomanceIni kisah tiga yang berbeda. Tentang cinta, tentang hidup, tentang persahabatan, dan tentang mereka. Benang cerita terulur panjang, namun terjalin pada kota yang sama. Nikmati dengan secangkir kopi, sambil mendengar lagu favorit mereka. Herjuna. Set...