Resign

1.2K 237 17
                                    

-HERJUNA-

Ruangan Ibu Mela direktur HRD perusahaan mereka terasa hidup. Dengan pot-pot tanaman mungil yang berjejer dekat jendela. Juga bingkai-bingkai foto anak-anaknya yang sudah dewasa. Kursi yang ada di ruangan itu juga lebih mirip sofa nyaman yang empuk. Seolah mengundang siapa saja untuk duduk dan bercerita. Sepertinya memang semua kesan itu yang berusaha dimunculkan. Agar siapa saja tidak sungkan membuka pintu dan berbagi cerita. Kali ini, dia duduk di sana bukan karena ingin bercerita, tapi bertanya.

"Nadin resmi mengajukan surat resign, Jun." Ibu Mela mendorong surat itu ke hadapannya.

Ini sudah dua hari di minggu yang baru setelah training Nadin di Singapore. Harusnya Nadin sudah pulang di hari Sabtu, tapi wanita itu tidak bisa dia hubungi. Itu membuatnya cemas sekali, dan berakhir dengan mencoba bertanya pada Ibu Mela apakah mungkin masa training Nadin diperpanjang.

"Tapi dia baru selesai oversea training. Harusnya semua training itu mengikat kan, Bu? Paling tidak satu tahun."

"Nadin ke sana bukan sebagai peserta, Jun. Dia ke sana atas undangan tim kita di Singapore untuk menjadi pembicara tamu dengan Axel. Kamu tahu project mereka berdua sukses beberapa bulan lalu. Jadi kami tidak bisa mengikatnya. Lagi pula, saya yakin kalaupun memang terikat, jika Nadin benar-benar ingin resign Nadin mampu membayar seluruh denda. Old money family, yang nggak terlalu butuh pekerjaan."

"Tapi dia bagus, Bu."

"Saya nggak bilang Nadin nggak bagus, Jun. Kami sudah coba bicara. Bahkan saya hubungi Axel juga untuk bujuk Nadin untuk stay. Misal dia tidak mau di Indo, kita bisa carikan dia posisi di negara lain. Nadin hampir sepuluh tahun bekerja di perusahaan ini, Juna. Mulai dari posisi Management Trainee, sampai ke posisi setinggi ini. John dan Dave bahkan tawarkan posisi yang lebih tinggi lagi. Mungkin dia bosan dengan posisinya sekarang, atau rotasi. She's this company baby. We don't want to let her go."

"Dan jawaban Nadin?"

"Semalam saya hubungi dia dan dia bilang dia akan datang untuk pamit baik-baik. Sepertinya dia sudah yakin benar dengan keputusannya."

"Apa benar dia ingin menikah?"

"Saya juga dengar berita itu. Nadin nggak menjawab saat saya tanya hal itu kemarin. Dia hanya tertawa kecil. Saya nggak bisa memaksa karena itu terlalu pribadi. Tapi harusnya Nadin paham benar bahwa fleksibiltas perusahaan kita itu sangat baik dalam hal pengaturan waktu untuk ibu yang bekerja." Ibu Mela menghela nafasnya.

Ibu Mela melanjutkan. "Sekarang dia ambil cuti yang biasanya dia nggak pernah ambil dan selalu sisa banyak setiap tahun. Saya ijinkan dan pesan pada Nadin, silahkan cuti untuk menenangkan diri. Juga untuk memikirkan baik-baik tawaran kami."

Ibu Mela melanjutkan. "Juna, kamu salah satu teman Nadin. Saya sudah bicara pada Axel kemarin. Kalau kamu nggak keberatan, coba bicara juga pada Nadin."

Kepalanya mengangguk perlahan. "Terimakasih, Bu."

Ibu Mela tersenyum dan mengangguk mengerti. "Hubungi saya kalau kamu sudah bisa menghubungi Nadin."

Dia keluar ruangan dengan perasaan berantakan. Kenapa Nadin seperti bersembunyi? Dari siapa? Apa yang terjadi dengannya? Terakhir mereka bicara di telpon Nadin terdengar sangat gelisah dan sedih. Apa keluarganya benar-benar memaksa dia untuk menikah dan tidak bekerja lagi?

Sesampainya di ruangan dia mengangkat ponsel. Terus mencoba menghubungi wanita yang diam-diam sudah menjadi bagian dari dirinya selama ini.

***

Juna: Nad, lo beneran bikin gue takut. Kenapa menghilang? Kabarin gue. Telpon gue setelah lo baca pesan ini. Gue serius, Nadin.

Matanya menatap ponsel resah. Sudah hampir satu minggu setelah jadwal kepulangan Nadin dari Singapore minggu lalu yang terlewat. Dia bahkan mencari Axel untuk bertanya dan disambut dengan pandangan tidak suka Axel pada dirinya. Saat itu dia tidak perduli, dia hanya ingin tahu dimana Nadinia dan Axel malah diam saja tidak mau menjawab. Sialan.

This CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang