The Acacia Tree

1K 191 13
                                    

-Raya-

-Masih enam bulan yang lalu-

Di luar pagar rumah bude Rasmi.

Dia terkejut menemukan seorang laki-laki dengan kemeja biru langit yang setengah lengannya digulung ada di tempat favoritnya. Di bawah pohon akasia dengan Pak Saki si tukang parkir yang biasanya duduk di sana. Laki-laki itu merokok. Pak Saki juga tidak ada, bangku lipat merahnya itu kosong.

"Mas, Pak Saki kemana?"

"Oh, saya nggak tahu. Bukan pacar saya soalnya."

Oke, dia lucu. Matanya sendiri sudah menjelajah pemandangan di hadapannya ini. Tinggi sang laki-laki hanya lebih tiga senti dari dirinya sendiri, berkulit putih bersih, kemeja slimfit khas eksekutif muda, senyum yang menawan dan mata yang ramah. Sekalipun dari seluruh mimik dan gestur tubuh, laki-laki asing ini sedang gelisah. Entah karena apa. Secara keseluruhan? Tidak sangat tampan, tapi lumayan rupawan. Nilainya, delapan.

Apa sih, Ya? Jangan gila gara-gara Mba Tanti, dong.

"Kenapa ngeliatin saya?" Mata laki-laki itu menyipit karena memang siang ini terik sekali.

"Nggak. Saya nyari Pak Saki."

"Pak Saki nggak saya umpetin di belakang saya. Tuh, lihat aja." Tubuh laki-laki itu berbalik memunggunginya.

Kepalanya sedikit miring heran. Mahluk ini unik juga. Hah, bukan urusannya. Tapi biasanya jika sesak terasa di dalam, dia akan bercanda atau main tebak-tebakkan dengan Pak Saki di sini. Setelah emosinya reda, dia akan kembali ke dalam. Karena yang dicari tidak ada, dia kembali masuk saat sebuah sedan hitam juga ingin masuk ke dalam garasi rumah bude Rasmi. Mobil itu berhenti dan kacanya terbuka. Seorang laki-laki paruh baya menatap laki-laki tadi yang berdiri.

"Ayok masuk. Stop merokoknya." Kaca ditutup lagi.

Oke, ternyata laki-laki itu juga tamu bude Rasmi. Lalu dia berjalan tidak perduli untuk kembali ke dalam ruangan. Langsung menuju dapur bersih untuk mengambil segelas orange punch dingin dan berharap minuman itu bisa menstabilkan emosi.

"Eh, akhirnya sampai juga." Suara bude Rasmi yang khas sekali sudah terdengar.

Lalu setelah itu laki-laki aneh tadi masuk dengan kedua orangtuanya. Bude Rasmi sibuk memperkenalkan tamunya pada keluarga yang lain. Ayah dan mama seperti sudah mengenal mereka. Tapi dia sendiri tidak pernah tahu keluarga itu. Siapa mereka?

"Ini anak dari sepupu adik tirinya Eyang Putro." Lamat-lamat dia bisa mendengar suara bude Rasmi.

Entah, dia tidak mengerti dengan silsilah rumit keluarganya. Siapa juga yang perduli. Dia masih kesal dengan Mba Tanti.

"Adit, ya ampun. Makasih udah dateng ya." Mba Tanti juga menyambut tamu itu.

Dia masih berdiri di area meja tempat snack ketika namanya dipanggil.

"Diajeng, Nduk. Rene o (ke sini)." Kepala bude Rasmi menoleh ke arahnya.

Tubuhnya langsung menegang, karena dia paham benar apa arti panggilan itu. Panggilan khusus dari bude Rasmi untuknya ketika beliau ingin berbuat sesuatu yang baik menurut budenya itu sendiri, tanpa memikirkan perasaannya atau bahkan bertanya. Oh my God, ya Tuhan, apa dosanya.

Dengan senyum terpaksa dia berjalan ke arah tengah ruangan. Tempat semua mata memandang dengan penuh harapan. Seolah itu juga harapannya. Sial. Dia benci ini.

"Ini Aditya, anaknya Om Rano Wiryawan..."

Kalimat selanjutnya dia tidak perduli. Matanya menatap laki-laki di bawah pohon akasia tadi. Tangan laki-laki itu terulur sopan, mata dan bibirnya tersenyum hangat, menunjukkan deretan gigi putih yang rapih sekali. Ekspresi gelisah yang tadi dia lihat ketika mereka bertemu di luar pagar sudah tidak di sana. Aditya namanya, Aditya Wiryawan.

This CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang