A brother and a bestfriend

873 178 35
                                    

Sudut pandang di sini sudah mulai campur-campur ya. Jadi tolong lihat nama di tiap bagian saja. Itu sudut pandang dia. Semua tokoh juga keluar. Rame deh pokoknya. 

As always, hope you enjoy this story as much as I do. Luv you, genks!

***

Pemandangan Singapura dari Marina Bay Sand Hotel Nadin tatap hampa. Langit pagi ini cerah, namun segala kebimbangan di hati membuat resah tidak mau pergi. Ponsel dia ambil dari atas meja ruang tengah hotel. Ini ponselnya dengan nomor Singapura karena dia sudah berada di sini lebih lama dari rencana. Nomor Indonesia nya masih ada, namun benda itu dia non-aktifkan sementara.

"Selamat pagi, Naaad," suara Raya di seberang sana.

"Hey, Ya."

"Is this the day?" tanya Raya.

'The day' di sini adalah hari dimana dua keluarga bertemu. Keluarga Winata dan keluarga Saddiq karena perjodohannya dengan Majeed Saddiq.

"Yeah," jawabnya tidak bersemangat.

"Nad, lo mau gue ke sana?"

Kepalanya menunduk sedih. Tiba-tiba ingatannya terbang pada Juna. Laki-laki yang dia cinta tapi tidak mencintainya kembali. "Nggak usah. Gue nggak apa-apa."

"Gue mau cerita boleh nggak?" ujar Raya hati-hati. Nafas Raya hirup dalam sebelum melanjutkan. "Gue ketemu Juna."

Dia mendesah kecil. "Kantor kita kerja bareng, Ya. Pasti lo ketemu dia."

"Gue ketemu Juna, di kedai kopi punya adek lo. Bukan soal kerjaan."

Matanya terpejam karena rasa berat menghimpit cepat. "Gue udah ketemu Majeed. Semua udah setengah jalan. Juna cuma akan panik sebentar, kayak waktu dulu kasus gue sama Henry. Dia juga panik nyariin gue, nyamperin gue ke rumah sakit. Tapi ya udah, setelah itu nggak ada apa-apa. Herjuna selalu jadi cowok baik, Ya. Dia selalu baik dan perhatian, sebagai teman."

"Nad, yang gue lihat nggak begitu. Herjuna beneran putus asa nyariin lo."

"Nggak akan ada apa-apa, Ya," saliva dia loloskan mengingat tahun-tahun dia berharap bahwa Juna akan mengerti apa yang dia rasa dan bisa menerimanya.

"Kalau gitu gue boleh bilang dong lo dimana. Nggak akan ada apa-apa kan?"

Kimono satin Nadin rapatkan, rasanya dingin. Karena dia merindukan laki-laki yang hanya menganggapnya teman saja. "Nggak perlu bilang. Gue capek, Ya. Gue nggak mau berharap kalau nanti dia akan datang."

"Entah kenapa gue merasa Herjuna akan melakukan apa aja kali ini, Nad. Buat lo."

Sakit itu menyelinap lagi. Kali ini dia terkekeh miris. "Jangan harap, Ya. Herjuna punya trauma sama cewek kaya. Setelah cerita dia dan Alea yang berakhir pahit begitu, gue yakin dia nggak akan maju. Rayaa....kenapa lo bilang begini sih? Gue jadi berpikir kalau Juna beneran nyariin gue," air matanya jatuh satu.

"Dia beneran nyariin lo, Sayang. Coba nyalain ponsel lo. Liat sendiri dia bilang apa."

"Gue nggak mau berharap lagi, Ya. Sakit hati," tangannya mengusap air mata.

"Nyalain dulu ponsel lo, Nad. Please. Kalau nggak ada apa-apa di sana, silahkan menikah dengan Majeed. Tapi kalau ada..."

"Nggak akan ada, Raya. Palingan dia cuma kirim pesan sepele, minta maaf, ngajak makan, semua biasa aja kayak kalau kita berantem aja. As a friend, nothing more."

"Sayang, coba nyalain dulu, okey?"

Nafas dia hirup panjang.

"Majeed gimana? Ganteng nggak?" Raya mengalihkan pembicaraan.

This CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang