Satu part terakhir buat pasangan gemas ini. Enjoy!
***
-Gista-
"Auw, sakit. Pelan-pelan, Ta," mereka sedang duduk di sofa balkon kamar Pras di atas kedai keesokan paginya.
"Kalau sakit jangan pukul-pukulan mangkanya. Lagian tamu kamu kemarin itu siapa sih? Preman juga?" dia membersihkan sisa luka Pras semalam. "Udah gitu begadang sampe pagi lagi. Kamu nggak sakit badan apa, tidur di bangku kayu begitu?" omelnya lagi kesal.
"Pelan-pelan dong, Ta," kepala Pras menjauhi tangannya.
"Lagian kenapa kamu mandi sih? Emang kamu udah cukup tidur? Nanti sakit gimana?" dia masih protes.
"Saya gimanapun juga wangi. Tapi nggak enak nggak mandi. Emang kamu, jorok."
"Enak aja, saya udah mandi." Dahinya mengernyit menatap wajah Pras yang memiliki lebih banyak luka daripada sebelumnya. "Kita ke rumah sakit sekarang."
"Nggak ada. Gina sebentar lagi dateng dan saya harus periksa banyak hal. Kita buka minggu depan."
"Pras, kita belum punya nama kedai."
"Kamu yang pikirin dong. Kan itu tugas kamu."
"Iss, saya namain kedai kopinya asal-asalan nanti. Baru tahu rasa!"
"Eh, jangan. Enak aja. Cari nama yang keren. Jangan yang cengeng. Kamu kan jago filosofi tu, ya kamu pikirin namanya apa."
"Kamu mau nama apa emangnya?"
Tubuh Pras bersender santai lalu menatapnya usil. "Beneran nih, kita udah discuss nama bareng? Emang kamu mau punya berapa banyak?"
"Hah? Berapa banyak apaan?" kepalanya menoleh ke Pras yang sedang tersenyum usil padanya. Saat Pras ingin menggapai pinggangnya mendekat, dia kemudian mengerti maksud Pras. "Praaas, nama kedai maksudnya, Bukan nama yang lain?" tubuhnya berdiri menghindari Pras yang ingin menangkap tubuhnya.
"Hey, sini dulu," Pras tertawa kecil berusaha menggapai tubuhnya yang sudah menjauh.
"Nggak mau," tapi dia tertawa kecil tidak tahan melihat ekspresi Pras yang konyol.
"Gista, sini. Ada di dalam kontrak kerja kalau saya panggil, kamu harus datang," ujar Pras sambil duduk.
"Nggak ada. Enak aja, pegang-pegang mulu. Kita kan cuma manusia yang punya hubungan nggak jelas," balasnya.
Pras tertawa sambil terus menatapnya.
"Lagian ada di kontrak kerja kalau nggak boleh pacaran sesama pegawai," lanjutnya.
"Baca kontrak yang bener. Nggak boleh sesama karyawan. Tapi boleh sama bosnya. Kamu pikir saya nggak antisipasi itu?" timpal Pras. "Lagian kamu yang 'nggak mau denger kan, saya mau bilang apa soal kita."
"Nggak, nggak, nggak. Saya nggak mau denger," wajahnya sudah memerah jadi dia menutup kedua telinga sambil masih berdiri menjaga jarak dengan Pras.
Pras makin terkekeh geli. Laki-laki itu sudah berdiri berjalan mendekatinya. Sementara dia mundur perlahan.
"Ta, saya nggak gigit. Serius."
"Pras, Pras...udah doong Pras. Jangan gangguin saya pagi-pagi."
"Ta, Ta, Ta...lihat itu ada apa di atas langit," tiba-tiba Pras menunjuk ke atas langit pagi.
Hal itu membuat refleksnya menoleh ke atas dan menurunkan tangan dari telinga. Pras si usil itu langsung mencium sebelah pipinya cepat sambil tertawa. Karena terkejut wajahnya tambah merah lagi dan tawa Pras makin berderai. Wajah cemberutnya menatap Pras kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
This City
RomanceIni kisah tiga yang berbeda. Tentang cinta, tentang hidup, tentang persahabatan, dan tentang mereka. Benang cerita terulur panjang, namun terjalin pada kota yang sama. Nikmati dengan secangkir kopi, sambil mendengar lagu favorit mereka. Herjuna. Set...