Not just any man

977 187 21
                                    

Selamat kondangan.

***

Pras menatap kakaknya yang berdiri di pelaminan dengan rasa bahagia. Nadin terlihat cantik sekali malam ini. Dengan gaun pengantin putih dan didampingi laki-laki menyebalkan yang mencuri hati kakaknya sejak lama. Untung Herjuna membalas perasaan Nadin, atau jika laki-laki itu hanya ingin bermain dengan kakaknya saja seperi Henry, dia pasti sudah habisi.

Habisi? Emang lo masih preman?

Pesta adalah bukan acara kegemarannya, sekalipun itu pesta pernikahan kakak kesayangannya. Tapi pesta kali ini berbeda karena dengan begitu dia bisa melihat Gista memakai kebaya lengkap dengan rias wajah tipis-tipis yang cantik sekali. Lebih cantik dari Nadin pastinya.

Gadisnya itu sedang berdiri di sudut ruangan dengan Bang Rendra yang juga datang sebagai tamu. Tamu? Hhhh...dia lupa dia harus mulai menjamu tamu atau kolega ayah. Ya, dia mulai menjabat dan itu sangat menyebalkan. Tapi setiap melihat senyum Gista ketika dia pulang kerja, semua terasa lebih ringan. Hisss...sejak kapan dia mulai picisan.

Satu dua tamu menyapanya. Sebagian besar dia hanya tersenyum dan mengangguk, berpura-pura mendengarkan mereka dan siasatnya itu lumayan berhasil. Sekalipun ada kalanya dia harus benar-benar bicara. Ketika itu terjadi, dia berusaha mengingat segala ilmu bisnis yang diajarkan ayah dalam semester super pendeknya sejak dua bulan lalu. Ini menyiksa tapi lagi-lagi dia rela tersiksa demi memastikan hajat hidup Gista, kebahagiaan Nadin, dan senyum mama terpenuhi.

"Hey, let me handle this," Majeed menepuk pundaknya sembari berbisik. "Hampiri pacarmu sana."

Senyum lebar sudah membingkai wajah. Majeed memang datang karena Majeed adalah mantan tunangan yang berbakti, tidak sombong, mungkin juga rajin menabung karena Majeed bukan sembarang kolega. Tapi juga salah satu investor besar di negaranya. Sekalipun begitu kakaknya – Nadin sudah jatuh cinta pada Herjuna padahal Majeed adalah kandidat yang berpotensi menjadi kakak ipar andalan. Apapun lah, dia sendiri tidak pernah pusing dengan harta.

"Thanks," ujarnya kemudian tanpa basa-basi melangkah menuju Gista yang sudah berdiri sendiri dengan ponsel. "Ta..." tanpa basa-basi dia menarik lengan Gista sehingga gadisnya itu kerepotan mengiringi langkahnya.

"Mau kemana, Pras?"

"Gerah di sini. Keluar dulu sebentar."

"Jangan cepet-cepet, aku pakai kain ini."

Dia terkekeh kemudian melambatkan langkah. "Untung nggak sanggulan gede." Tangan Gista masih terus dia genggam keluar dari ballroom menuju salah satu ruang rias keluarga yang berukuran besar di bagian belakang hotel.

"Enggak mau, berat. Ini aja udah nggak nyaman."

"Eh, harus pakai. Buat latihan bulan depan."

"Mulai deh usil. Tamu kamu gimana?"

"Ada Majeed dan Noval si sekretaris andalan."

Mereka sudah tiba di ruang rias yang kosong. Dia masuk dan langsung membalik tubuh sehingga berhadapan dengan Gista. "Lepasin dasinya dong."

"Nggak boleh, Pras. Acaranya belum selesai. Lagian kamu keren kok pake dasi kupu-kupu begitu."

"Kupu-kupu itu letaknya di taman, beterbangan. Bukan di leher begini. Lepasin dong, Ta," dia memaksa.

Karena kesal Gista diam saja, dia menghampiri salah satu kaca besar untuk melepas sendiri benda sialan ini. Gista mendesah menyerah kemudian membantunya. Jadi mereka berhadapan lagi dekat sekali. Dua tangan Gista bergerak-gerak di lehernya. Tanpa dia mau dia menatap wajah cantik ini. Bulu mata yang lentik, riasan yang tidak berlebihan, juga lesung pipi yang akan makin dalam saat Gista tersenyum tadi.

This CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang