Prejudice

753 162 13
                                    

-Gista -

Hari berikutnya Pras tidak bertandang ke Akena dan tidak ada kelegaan sama sekali yang dia rasa. Dia malah cemas, merasa serba salah entah kenapa. Semalam setelah Pras pergi dia memeriksa ponsel yang masih saja dia lupa keberadaannya. Ada tujuh belas miscall dan lima pesan dari Pras yang saat ini dia tatap.

Pras: Gista, saya ada urusan sebentar. Kalau sudah selesai kamu tunggu saya di Akena. Saya antar pulang.

Pras: Gista, kamu dimana?

Pras: Angkat telpon saya, Gista. Ini hujan, ya Tuhan.

Pras: Gista, kabari saya segera. Daerah Akena bukan daerah yang aman. Kabari saya!

Pras: Halo, Gista?

Pesan-pesan itu dia tatap nanar. Ada sedih yang menyelinap perlahan. Sedih karena tahu perhatian Pras padanya sungguh terasa pada seluruh pesan tadi. Juga rasa khawatir Pras dan seluruh kemarahan laki-laki itu yang terus saja membayang. Pras semalam bahkan kehujanan. Mungkin karena terburu-buru ingin sampai tepat waktu untuk menjemputnya.

Dia pikir setelah garis batas itu jelas, lalu perasaannya akan lebih tenang, nyaman. Namun dia tidak bisa menemukan dua rasa itu tadi. Maafin saya, Pras.

"Neng, kamu kenapa hari ini?" sosok Bang Rendra tiba-tiba muncul dari arah pintu.

"Nggak kenapa-kenapa, Bang."

"Kemarin kamu pulang nggak apa-apa? Pras bolak-balik telpon saya."

Rasa bersalah datang lagi. "Pras marah ya, Bang?"

"Dia khawatir banget. Salah saya juga karena nggak pastikan kamu naik apa. Daerah sini kalau udah malam memang nggak terlalu aman. Suka ada preman."

"Saya bareng teman semalam, karena hujan. Kebetulan ketemu di halte."

"Oh, bagus lah. Hari ini Pras wanti-wanti suruh ngusir kamu pulang jam 4 sore."

"Hah, Pras telpon Abang?"

"Iya tadi pagi. Emang kamu nggak ditelpon?"

Kepalanya menggeleng sedih.

"Pras lagi dipanggil ke rumahnya, pulang."

Rasa penasaran mengusik lagi. "Emang rumah Pras dimana?"

"Di deket kedai sebenarnya, nggak jauh. Tapi Pras keluarganya kompleks. Jadi dia jarang pulang. Macam anak orang kaya yang membelot begitu."

"Membelot? Maksudnya nggak nurutin orangtua?"

Bang Rendra menjawab dengan anggukkan kepala. "Keluarga Pras punya perusahaan ekspor-import, kapal tongkang, dan perusahaan yang sewa-sewa container. Kaya tujuh tikungan lah. Kakak Pras perempuan dan Pras laki-laki satu-satunya, dan Pras nggak mau jalanin usaha ayahnya. Cerita klise anak orang kaya yang banyak banget duit tapi kurang perhatian."

"Kenapa nggak mau?"

"Wah, yang tahu alasannya cuma Pras. Menurut saya, Pras sebenarnya bakat jadi businessman. Lah kabur dari rumah nggak bawa apa-apa terus usaha sendiri dan jadi punya duit kan hebat. Pras itu nggak manja, malah bandel banget dulu. Tukang berantem, mainnya sama preman. Sampe temenan sama Manggala anak preman dari Utara. Sekarang udah mendingan, nggak tahu karena apa."

Kalimat Bang Rendra dia cerna. Pengetahuannya tentang Pras memang payah sekali. Karena ketika mereka mengobrol Pras terus bertanya tentang dirinya.

"Kalau Pras bilang lagi ada urusan di rumah, biasanya ayahnya yang manggil dan mereka suka ribut," lanjut Bang Rendra. "Habis itu Pras kabur menghilang nggak ada kabar."

This CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang