-Gista-
Malamnya di kedai.
Mereka berdua duduk di sofa panjang pada teras kedai ditemani secangkir kopi dan teh. Setelah pemaksaan kakak Pras padanya seharian, serta kuliah, Nadin mengantarnya kembali ke kedai dengan tiga kantung belanja besar. Pras hanya menggelengkan kepala melihat semua.
"Tidak boleh dikembalikan. Pastiin Gista pakai," begitu pesan Nadin dengan nada ancaman ke Pras tadi. Dia mendengar dari balik pintu kedai.
"Kamu capek?" Pras menghirup kopinya lalu mengambil gitar yang ada di sebelah sofa.
"Sedikit. Mama dan kakak kamu kompak banget kalau soal belanja," dia tertawa mengingat waktu belanja mereka tadi siang.
"Duluan istirahat sana," Pras mulai memetik gitar itu perlahan.
"Kamu bisa main gitar?"
"Lumayan. Mau denger lagu bintang kecil?"
Dia terkekeh sambil menyesap tehnya. Dua kaki dia naikkan di sofa. Pras duduk di ujung sofa sementara dia duduk di ujung lainnya.
"Kamu belum cerita kenapa kamu luka-luka. Saya lebih mau dengerin itu."
Nafas Pras hirup panjang. "Singkatnya, saya berantem sama temen saya. Namanya Gala, Manggala. Yang angkat telpon kamu itu namanya Bamantara, Bam. Dia yang misahin. Orangnya rese kayak Nadin."
"Kenapa berantem?"
"Alasannya saya nggak bisa cerita detail, yang jelas karena masalah lama."
Matanya menatap tato di lengan Pras. Naga Utara. "Temen kamu itu preman?"
"Dulu sih kita ngakunya penjaga keamanan, bukan preman," jawab Pras santai.
"Kamu juga preman?"
"Apalah sebutannya, nggak penting. Yang penting kan sekarang saya gimana."
Dia mengangguk setuju. "Keluarga kamu kayaknya baik-baik aja. Kamu berantem sama ayah kamu?"
"Singkatnya, saya nggak cocok sama papa. Detailnya nggak bisa cerita."
"Kamu beneran pernah nggak pulang bertahun-tahun?"
"Saya kabur dari rumah waktu saya SMA."
"Kabur kemana?"
"Nggak pulang aja. Barengan sama Gala dan Bam tinggal di jalanan. Jangan tanya alasannya, karena kalau dipikir lagi alasan klise. Lagian itu udah lewat."
"Kamu udah nggak temenan sama Gala dan Bam?"
Pras diam sejenak. "Mereka lebih dari teman. Mereka keluarga kedua."
Ponsel Pras berdering dan dia bisa melihat air wajah Pras berubah melihat siapa yang menghubungi. Pras berdiri menjauh dan mengangkat sambungan itu.
"Kedai lo ketahuan. Anak Selatan ke tempat lo. Siap-siap, Pras." Sayup-sayup dia mendengar suara panggilan pada ponsel Pras.
Tubuh Pras langsung berbalik dan menarik lengannya hingga dia berdiri. Terburu-buru Pras melangkah ke dalam kedai, terus masuk ke dalam dapur besar dan masuk lagi ke ruangan penyimpanan bahan makanan. Pras menggeser salah satu rak dengan roda dan di bawah lantai ada pintu. Dia tidak pernah tahu ada pintu itu.
Lebih aneh lagi mereka turun ke bawah yang ternyata ada ruangan kecil dengan satu tempat tidur sederhana, dan sofa. Juga satu meja dan satu kursi.
"Pras, ini tempat apa? Siapa yang mau datang?" tanyanya sedikit panik.
Mereka sudah berdiri berhadapan. Pandangan mata Pras menatapnya dalam. "Ta..." saliva Pras loloskan. "Tolong jangan bantah saya kali ini."
Dia masih diam membeku. Dua tangan Pras sudah menggenggam tangannya yang tiba-tiba dingin. "Ada apa, Pras?"
KAMU SEDANG MEMBACA
This City
RomanceIni kisah tiga yang berbeda. Tentang cinta, tentang hidup, tentang persahabatan, dan tentang mereka. Benang cerita terulur panjang, namun terjalin pada kota yang sama. Nikmati dengan secangkir kopi, sambil mendengar lagu favorit mereka. Herjuna. Set...