"Berbohong demi kebaikan? Berhenti bersembunyi dibalik kata 'kebaikan'. Pada hakikatnya, bohong tetaplah bohong."
.
Seoul semakin hari semakin terlihat mewah saja. Gedung besar sudah ada di mana-mana. Bahkan beberapa kali Jungkook lewat, ada cukup banyak proyek pembangunan di beberapa titik perjalanan menuju rumah.
Sepanjang perjalanan, Jungkook terus terpikirkan ucapan ketika di rumah sakit tadi. Ya, Jungkook baru saja melakukan konsultasi dengan dokternya. Dokter Lee menyuruh Jungkook untuk melakukan operasi secepat mungkin. Namun lagi-lagi Jungkook menunda. Alasannya tentu takut membuat orang-orang yang berada di rumah khawatir dan Jungkook tidak bisa mengatakan langsung kalau dirinya akan di rawat setelah operasi.
Hal itu membuat dokter ikut khawatir juga. Bagaimana pun, pasien tetap nomor satu. Tetapi karena Jungkook terus menundanya sambil meyakinkan sang dokter, mau tidak mau dokter Lee mengikuti permintaan pasien. Padahal seharusnya tidak begitu.
"Kenapa aku jadi takut sekali ... Aku sama saja seperti pengecut, pria lemah. Tapi aku juga benar-benar takut dan belum berani memberitahu orang rumah." Jungkook kembali menginjak pedal gas, memutar stir ke arah kanan. Lajunya sengaja diperlambat. Bisa-bisa ia mati lebih cepat kalau membawa kencang dengan pikiran berkecamuk.
Jungkook memilih memberhentikan mobilnya di bahu jalan. Mematikan mesin dan mendesah berat. Ia frustasi dengan ucapan dokter Lee yang mengatakan, "Saya mengerti, Anda pasti sulit untuk melakukannya. Tapi akan lebih sulit jika tidak secepatnya ditangani. Anda juga mengkhawatirkan keluarga Anda karena Anda menyayangi mereka. Kalau memang Anda menyayangi mereka, maka sayangi juga diri Anda."
Lalu Jungkook memukul stir kasar. Meremas rambutnya. Mengerang. Sial!
"Andaikan sihir itu nyata dan aku bisa, mungkin sudah aku lakukan. Sulit sekali memutuskan ini," lirih Jungkook menjatuhkan kepalanya pada stir.
Kemudian Jungkook merogoh saku celana. Mengambil ponselnya dan mencari kontak seseorang. Terdiam sejenak, apa harus menghubunginya atau tidak. Tetapi akhirnya Jungkook menekan kotak tersebut. Menunggu panggilan terhubung.
"Byeol," panggil Jungkook. Seketika perasaannya berubah tenang saat mendengar suara wanita tersebut.
"Kenapa belum pulang? Apa kau pergi ke tempat Yoongi dulu?"
"Tidak. Aku hanya ingin dengar suaramu saja. Aku rindu." Saat mengatakannya, Jungkook ikut tersenyum sendiri. Membayangkan bagaimana Hanbyeol ikut terkekeh dengan ucapan manisnya. Mengingat senyuman yang menggemaskan selalu tersungging. Jungkook ingin cepat-cepat pulang.
"Tiba-tiba? Padahal kita sering bertemu lho ... Kita itu serumah, kau kan sering mendengar suaraku. Bahkan sampai aku teriak-teriak," balas Hanbyeol.
"Dasar tidak peka." Meski Hanbyeol tidak dapat melihat Jungkook, ia tetap mengerucutkan bibirnya lucu. "Aku ini rindu. Rindunya itu beda. Mengerti?"
Dari seberang sana, dapat Jungkook dengar kekehan Hanbyeol, namun tidak lama kekasihnya mengatakan, "Kau bercanda? Kalau rindu aku, cepat pulang. Tidak usah banyak bicara di telepon. Aku di sini sudah melebarkan tanganku untuk memelukmu."
Sekarang giliran Jungkook yang tertawa. Hanbyeol ini benar-benar manis. Menjalin hubungan lebih dari sekedar teman bersama teman masa sekolah itu rasanya cukup berbeda. Padahal dulu ia dan Hanbyeol paling sering cekcok di kelas. Paling berisik, mulai dari hal sepele sampai hal yang tidak penting pun mereka ributkan. Dan percekcokan itu membuat mereka menjadi dekat serta saling membutuhkan. Sampai di mana massa ini. Jungkook dan Hanbyeol yang mulai mengikat perasaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Jung ✓
FanfictionKehidupan seorang Ahn Jungkook seketika berubah sejak kematian sang ibu. Ayahnya berambisi kuat untuk menjadikan Jungkook sebagai penerus Orbit Corp. sehingga memberikannya banyak tekanan. Alih-alih meminta tolong, Jungkook malah menemukan perubahan...