"Para petualang bisa kehilangan kompasnya. Tapi mereka tidak pernah menyerah untuk sampai tujuan. Sebab, akan selalu ada alam yang menolong."
.
Dingin. Udara malam ini terlalu dingin dan menusuk. Di tambah deras air hujan yang menghantam permukaan hingga basah.
Kain yang membalut seolah tak ada lagi gunanya ketika tubuh sudah menggigil. Gigi bergemeletuk dengan bibir ungunya. Mata sayu semakin menonjolkan apa yang sedang dialami. Memeluk tubuh pun rasanya seperti percuma saja jika semua sudah basah kuyup. Tak ada lagi yang bisa dijadikan penghangat.
Tak ada tujuan, tak ada tumpangan. Hanbyeol hanya duduk tanpa melakukan apapun selain mendekap tubuh yang menggigil. Sepatu yang dikenakan pun basah sehingga kakinya ikut kedinginan.
Duduk di halte tanpa beranjak sedikitpun ketika bus tiba. Bahkan bus terakhir baru saja lewat, tapi Hanbyeol enggan pergi. Bukan enggan, tepatnya tidak tahu ke mana dirinya harus singgah.
Sementara malam semakin larut. Pun keadaan sekitar sudah sepi karena hujan terus mengguyur kota. Tak ada seorangpun lewat selain kendaraan yang berlalu lalang begitu bising.
"Aku harus ke mana sekarang," lirih Hanbyeol kedinginan, melirik ke sana-ke mari. "Uangku cukup untuk semua, tapi bagaimana dengan utang yang sudah dekat jatuh tempo ...." Bahkan upah yang di dapat tidak seberapa untuk membayar utang. Masih kurang, apalagi ditambah jika dirinya harus pergi ke penginapan ataupun sauna. Semakin berkurang nominalnya.
Alhasil, Hanbyeol membaringkan tubuhnya. Tidak peduli seberapa dingin tempat itu sekarang, sebab matanya sudah terlalu berat. Tubuhnya terlalu letih. Dan perutnya begitu sakit karena belum juga diisi apapun selain air minum.
Meringkuk dengan tubuh menggigil, Hanbyeol bergumam, "Kalau ini terakhirku, tolong jaga Jungkook. Aku ingin dia sembuh. Aku ingin dia tetap hidup dan—" Benar-benar tidak kuat, rasanya seperti di musim dingin di akhir tahun. Beku. Bibir kelu.
Menyedihkan memang, berbaring seperti gelandangan yang tak punya apapun di tempat umum. Namun mau bagaimana lagi, jika garis takdirnya seperti ini, Hanbyeol tidak bisa mengubah apapun selain menerima.
Di saat kesadaran Hanbyeol perlahan luntur, mata hendak terpejam, dan tubuh lemas. Saat itu juga sebuah kain menimpa tubuhnya. Menyelimuti asal hingga melihat siapa pelakunya.
"Yoon—"
"Kalau mau mati, harus tahu tempat. Kau hanya akan buat kehebohan di sini," sarkas Yoongi seperti biasa. Sorotnya begitu datar seragam dengan nada bicaranya.
Sontak Hanbyeol membeku. Bukan lagi karena udara, melainkan sosok dan sikap Yoongi yang berbeda dari yang biasa Hanbyeol lihat.
Bagaimana pria itu menyuruhnya bangun, memberikan kain hangat serta memberikan payung. Meski gestur tubuh acuh tak acuh.
Kini Hanbyeol bingung, haruskah dirinya bersyukur atau tidak? Di satu sisi dia begitu sial dan nyaris terlelap selamanya (mungkin), tapi di sisi lain Dewi Fortuna seolah mengutus Yoongi untuk menjadi penyelamatnya.
"Sungguh ingin mati di sini?"
Lamunan Hanbyeol pecah tatkala Yoongi kembali menginterupsi. Berdiri di depan sambil memegang payung. Sebagian lengannya sedikit basah karena air yang menetes dari sisi payung tersebut.
Lantas Hanbyeol menggeleng lemah. Bibir ungu sudah kelu dan lagi tidak tahu harus mengeluarkan kalimat apa.
"Cepat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Jung ✓
FanfictionKehidupan seorang Ahn Jungkook seketika berubah sejak kematian sang ibu. Ayahnya berambisi kuat untuk menjadikan Jungkook sebagai penerus Orbit Corp. sehingga memberikannya banyak tekanan. Alih-alih meminta tolong, Jungkook malah menemukan perubahan...