Prolog

497 43 5
                                    

Sujiwo Tejo pernah bilang, Menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kamu bisa berencana menikahi siapa, tapi tak dapat kau rencanakan cintamu untuk siapa.

Kira-kira seperti itu sebait kalimat yang tanpa sengaja kubaca lewat salah satu media sosial yang akhir-akhir ini sering kukunjungi. Sebenarnya tak butuh waktu lama untuk mengeja makna dari ungkapan itu. Namun, entah mengapa terus kuulang membacanya. Sekali, dua kali, bahkan berkali-kali sampai akhirnya ada kejanggalan yang kurasakan. Bukan, bukan isi ungkapan itu yang janggal, tapi hatiku saat menyadari bahwa aku tak lagi memiliki kemampuan untuk berencana dengan siapa akan menyempurnakan separuh agama.

Ah, dia. Entah apa kata yang tepat untuk menggambarkannya. Yang pasti masa lalunya begitu mengintimidasiku, hingga kata "kufu', kafa'ah, sepadan" menjelma menjadi tembok penghalang yang terasa sangat kokoh memisahkan.

Andai saja waktu itu ia tak perlu menyapaku, andai waktu itu aku tak perlu menjadi satu-satunya hero atas titik balik hidupnya. Ah, sebuah pengandaian yang berhenti di sebatas kata andai. Semua telah terjadi. Bahkan aku telah menghabiskan ratusan malam untuk sekadar menghadirkannya dalam ingatan.

Ini yang aku takutkan, di mana hati mulai tergugah dengan kehadiran seseorang, sementara rasa yang terlanjur hadir tak direstui waktu. Maka yang kubisa hanya meluapkan riuhnya perasaan dalam setiap lirih doa yang terpanjatkan.

Jika pertemuanku dengannya adalah ketidak- sengajaan yang telah direncanakan Tuhan. Maka aku yakin, segalanya memiliki makna, meski kurasa semua ini terlalu menyakitkan.

Layaknya selembar daun yang gugur, tentu Allah telah mengatur kapan dan di mana ia akan jatuh tanpa sia-sia.

-----------

KUFUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang