Berkat Nayyara aku bisa hidup di pesantren dengan semua fasilitas yang kumiliki, seperti mobil, handphone, atau pun motor. Aku juga bingung kenapa Gus Rafif bisa dengan mudah menyetujui permintaan Nayyara untuk menerimaku.
Hari ini aku melenggang bebas keluar pesantren setelah tadi mendapatkan izin tertulis dari Gus Rafif. Kondisi tubuh dan mental sudah jauh lebih baik. Jadi hari ini aku memutuskan pergi ke kampus untuk melakukan bimbingan skripsi. Waktuku tak banyak lagi untuk bisa lulus semester ini.
Memasuki mobil dengan kondisi sesegar ini memberikan nuansa yang berbeda. Sayangnya, kisah bersama Maura masih melekat kuat. Bahkan pouch miliknya yang berisi beberapa parfum, kapas, ikat rambut masih utuh ada di dalam dashboard.
Aku kembali membuka pintu. Keluar dari mobil, dan memilih pergi ke kampus menggunakan motor.
Maura.
Nyaris 6 tahun pernah memiliki cerita bersamanya. Meski berakhir tragis dengan menyaksikan dia bersama pria lain. Dengan begitu kupikir tak ada satu pun alasan yang bisa membuatnya tetap berada di sisi, karena cinta dan kepercayaan bagiku bukan lelucon yang bisa dengan mudah dipermainkan. Aku memutuskan hubungan. Aku memutuskan pertunangan dengannya.
“Aku gak mau kita putus. Aku minta maaf,” ucapnya histeris tanpa melepaskan pelukan waktu itu. Namun tanpa menghiraukan, aku menyulut rokok yang sedari tadi sudah di tangan. Isakannya sedikit membuat tubuhku ikut berguncang.
Kepulan asap rokok yang kuhembuskan seketika membuatnya sedikit terbatuk. sayangnya aku sudah tak peduli lagi.
Tangan dinginnya menyentuh pipi, memaksa agar aku menoleh menatap wajah yang barangkali sudah penuh dengan air mata itu.
Aku masih geming. Mempertahankan untuk tidak menghadapnya.
“Aku bisa jelasin semuanya. Yang terjadi sama sekali gak sama dengan yang kamu lihat. Malam itu Dion ....”
“Maura ....” Dengan sengaja aku memotong pembicaraannya.
Aku menoleh hanya untuk memperlihatkan senyum nanar pada Maura, lalu menatapnya tepat di manik mata. “Aku sama sekali gak pengen dengar penjelasan apa pun dari kamu. Kalau aku mau, aku bisa minta kamu ngejelasin semuanya malam itu. Dan ... Keputusanku untuk mengakhiri hubungan gak akan pernah berubah.”
Aku melepas tangan Maura yang masih melingkar kuat di tubuhku. Membuat jarak untuk menjelaskan bahwa kenyataan ini tidak akan pernah menjadikan kita bersama lagi. Sama sekali tidak akan mengubah alur cerita yang sudah terjadi, terlepas bagaimana dia dan keluarganya memiliki pengaruh yang kuat bagi keluargaku.
“Gak semudah itu kita putus, Ta.”
Ah, bahkan suaranya terdengar memuakkan.
“Tapi kenapa semudah itu kamu mengkhianatiku?" tanyaku tenang. Sangat tenang, meski kurasakan tikaman bertubi-tubi di dalam dada saat teringat bagaimana wanita yang kujaga sedemikian kuatnya ternyata sukarela dirusak oleh pria lain.
Di depan mataku.
Jangan tanya sesakit apa.
argh!!!! Aku menggeleng berusaha melenyapkan ingatan-ingatan itu. Melenyapkan Maura dari ingatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KUFU
RomanceJika pertemuanku dengannya adalah ketidak-sengajaan yang telah direncanakan Tuhan. Maka aku yakin, segalanya memiliki makna, meski kurasa semua ini terlalu menyakitkan. Layaknya selembar daun yang gugur, tentu Allah telah mengatur kapan dan di mana...