18

156 27 6
                                    

Aku melangkah tergesa menuju pos satpam, tak peduli bunyi derap memburu ini mungkin membuat sebagian orang yang sedang bersantai di depan wisma menjadikanku sebagai pusat tontonannya.

Masih terngiang di kepala bagaimana suara klakson dan benturan itu sangat jelas kudengar. Dan yang membuatku secemas ini adalah Nayyara. Karena setelahnya aku seperti kehilangan jejaknya. Sama sekali tidak ada sahutan dari Nayyara setelah bunyi mencekam itu.

Beruntung, aku tak butuh waktu lama untuk bernegosiasi dengan keamanan dan satpam untuk mendapatkan izin di waktu yang seharusnya penghuni wisma tidak diperbolehkan lagi berada di luar pesantren.

Selama perjalanan aku tak henti melacak keberadaan Nayyara lewat panggilan terakhir bersamanya. Lagi-lagi Tuhan mempermudah usahaku, hingga selama kurang lebih satu jam perjalanan aku menemukan keberadaannya. Lebih tepatnya keberadaan mobil yang sedang dievakuasi. Karena Nayyara dan Pak Ibnu langsung dilarikan ke rumah sakit.

Sedikit tenang, saat melihat kondisi mobil yang tidak begitu parah. Dan informasi yang kudengar di TKP seluruh korban selamat. Setelahnya aku sesegera mungkin menuju rumah sakit tempat Nayyara dan Pak Ibnu dirawat

***

[Gus, Mohon maaf, malam ini saya izin keluar dari wisma. Nayyara baru saja kecelakaan karena dia memutuskan pulang malam ini. Sekarang saya sedang menjaganya di rumah sakit, mungkin sampai Abah dan Umi Nayyara datang.]

Aku mengirimkan pesan kepada Gus Rafif. Karena bagaimanapun aku datang ke acara seminar sebagai delegasi pondok pesantren Ainul Huda. Ya, meski harusnya aku lebih dulu meminta izin sebelum pergi.

Sayangnya pesanku hanya dibaca, tak kunjung ada balasan dari Gus Rafif walaupun sekadar jawaban ya atau tidak. Sampai saat ini aku juga berusaha menghubungi via telepon, entah sudah ke berapa kalinya. Tapi tetap saja tidak ada respons.

Akhirnya aku tak peduli lagi mau bagaimana reaksi Gus Rafif nantinya. Saat ini kondisi Nayyara lebih penting dari apa pun.

Terlebih saat kulihat mata itu memejam tak berdaya dengan lebam dan luka di pelipisnya. Hatiku runtuh seketika. Yang kulakukan hanya berdiri mematung di samping ranjang Nayyara, menatap wajah yang memucat itu.

Aku mengusap wajah kasar. Tak pernah merasa sekhawatir ini pada seseorang.

Hingga kehadiran perawat membuatku akhirnya mengalihkan kecamuk tentang kondisi Nayyara.

"Maaf, Mas ini keluarga Mbak Nayyara apa bukan?"

"Saya teman Nayyara. Mungkin sebentar lagi keluarganya datang. Apa keluarganya sudah dihubungi?"

"Pihak RS belum menghubungi siapa pun, karena kondisi pasien belum bisa dimintai informasi. Oh ya, saya mau memberitahu kalau barang-barang Mbaknya di titipkan di lobi."

"Kalau begitu boleh saya pinjam HP Nayyara sebentar untuk menghubungi keluarganya? Nanti saya kembalikan lagi."

"Monggo."

Aku juga berniat menelepon nomor Bu Nyai lewat ponsel Nayyara yang diserahkan oleh pihak rumah sakit padaku. Tak peduli lagi nantinya Nayyara menganggapku terlalu lancang atau bagaimana. Karena memang tidak ada cara lain untuk menghubungi keluarga Nayyara. Bahkan mau bertanya pada Gus Rafif pun bukan solusi yang tepat untuk saat ini.

Berkali aku meminta maaf saat kuraih jemari Nayyara untuk membuka kunci layar ponselnya. Kuletakkan jempol Nayyara di atas layar yang tengah menyala itu. Seketika gambar wallpaper berlatar gelap dengan taburan titik-titik kecil berwarna putih sedikit menyita perhatianku. Aku justru beranggapan yang kulihat ini adalah gambar malam dengan taburan Bintang. Dan diujung bawah terdapat sebuah tulisan yang sebagian katanya tertutup beberapa icon aplikasi.

KUFUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang