12

111 23 3
                                    

Seorang gadis berjilbab coklat muncul dari balik pintu mobil yang baru saja berhenti tak jauh dari tempatku berada saat ini. Gadis yang kutunggu sejak setengah jam lalu.

Nayyara.

Namun kali ini ada yang berbeda dengan penampilannya. Wajahnya semakin berkarakter dengan kacamata yang ia gunakan. Tapi tidak mungkin jika Nayyara hanya mengikuti tren anak muda seperti cewek kebanyakan. Yang pasti, mau seperti apa pun penampilan Nayyara, itu semua tidak akan mengubah apa yang sudah tertanam kuat di dalam dada.

Aku memberikan sebuah senyuman saat Nayyara menyadari keberadaanku. Dia langsung membalasnya. Mata yang terbingkai kaca itu sempat menyipit saat sinar matahari pagi tersorot ke wajahnya. Hanya sebentar. Karena setelahnya ia segera berjalan pelan mendekatiku.

“Tumben pakai kacamata?” tanyaku sesaat setelah jarak kami sudah cukup dekat.

Bukannya menjawab. Nayyara justru terlihat kelimpungan. Bahkan beberapa kali ia tampak memperbaiki letak kacamatanya. Aku semakin curiga setelah kulihat mata yang tengah tertunduk itu sedikit sembap.

“Kamu habis nangis? Ada apa?”

Aku pikir sebagai seseorang yang dianggapnya teman tidak masalah jika menanyakan penyebab kenapa dia begitu.

Lagi-lagi Nayyara masih geming. Wajah yang semula tertunduk perlahan terangkat. Mata itu tidak bisa berbohong. Ada kesedihan yang kutangkap dari sana. Beberapa bulan mengenal Nayyara, tidak pernah sekalipun melihatnya serapuh seperti saat ini.

Dia bahkan tidak menghindari tatapanku seperti yang biasa ia lakukan. Nayyara balik menatapku dalam. Seperti ada ribuan kata yang ingin ia utarakan. 

“Aku siap jadi pendengar kalau kamu butuh teman untuk berbagi.”

Aku mencoba menawarkan diri meski aku tahu Nayyara adalah tipikal wanita yang tertutup. Dia tidak akan sembarangan menceritakan masalahnya pada orang lain. Dia akan selalu menampilkan versi terbaiknya pada siapa pun.

“Nggak, Gak papa. Semalam aku cuma dibikin nangis sama cerita novel yang baru kubeli,” ucapnya seraya tersenyum.

Sudah kuduga, dia akan tetap menutupinya. Menutupi semua masalahnya. Menutupi seluruh gundahnya.

“Yakin?” tanyaku memastikan lagi.

“Iya, Mas.”

“Jadi makan sekarang?”

Dia mengangguk.

***

Hari ini aku merasa Nayyara sangat berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Selain karena matanya yang sembab, juga tidak biasanya dia mau menemaniku dari pagi tadi hingga siang ini. Meski sepanjang waktu itu kami habiskan dengan hanya berjalan kaki berkeliling kampus untuk sekedar membeli makanan di cafetaria perpustakaan, ke tempat fotocopy, hingga mengurus administrasi untuk bebas tanggungan laboratorium.

Berkali aku tawarkan untuk mengantarnya kembali ke fakultas kedokteran. Namun, dia selalu menolakku dengan berdalih, “Kalau di fakultas nanti malah ketemu dosen. Hari ini aku belum siap bimbingan.”

Sungguh ini bukan Nayyara yang kukenal. Dia sosok yang disiplin. Sepanjang yang kutahu, saat di kampus tak ada semenit pun waktunya terbuang sia-sia. Lalu kenapa hari ini dia justru ingin lari dari dosen?

Namun, terlepas bagaimana sikapnya yang tak biasa kali ini. Aku sangat bahagia telah menghabiskan banyak waktu bersama Nayyara. Melewati setiap menit berlalu walau sekedar berjalan berdampingan meski terkadang tak ada sepatah kata pun yang menjadi topik obrolan kami. 

Dan saat kulihat ia tengah menungguku yang sedang mengantre di tempat fotocopy, sungguh dengan spontan senyum bahagia ini membentuk dengan sendirinya. Karena sebelumnya tidak pernah terpikir akan memiliki kesempatan berharga seperti hari ini.

Terlebih saat kulihat senyum lepasnya manakala aku memberitahu kalau  setelah ini aku akan lebih saring lagi berkunjung ke rumahnya. Dengan antusias dia bilang, “jangan lupa kabari aku kalau kamu mau ke rumah.” Entah apa yang hendak ia persiapkan jika aku mengabari.

Sayangnya wajah semringah itu tak bertahan lama, karena setelah aku menceritakan mengenai pengangkatanku menjadi pengurus pesantren, dan kemungkinan akan banyak mengurusi masalah kepesantrenan bersama Gus Rafif, raut wajahnya seketika berubah. Maka setelah itu, aku tak lagi membahasnya. Aku menelan kembali kisahku di pesantren demi membuat perasaannya kembali tenang dulu.

Setelah cukup lama kami bersama, akhirnya Nayyara sendiri yang meminta kembali. Aku dengan sigap mengantarnya. Awalnya dia menolak untuk kuantar. Tidak mau merepotkanku, katanya. Padahal jangankan mengantar. Setiap hari aku bahkan rela berkeliaran di sekitar fakultas kedokteran hanya untuk bertemu dengannya atau sekedar melihatnya.

Seistimewa itu Nayyara. Untuk menemuinya saja aku selalu mencari cara agar tak membuatnya risih. Nayyara berbeda, bahkan cara pandang kami tentang sebuah hubungan antara laki-laki dan perempuan sangat jauh berbeda. Tapi itu dulu. Sampai akhirnya kriteriaku dalam memilih wanita sebagai pasangan hidup juga ikut berubah.

Aku menginginkan Nayyara.

Aku tahu betul jika masa laluku menjadi jarak lebar yang membuat Nayyara adalah satu hal yang mustahil kumiliki. Namun, setidaknya usahaku memantaskan diri menjadi satu-satunya cara untuk melumat segala ketidak-mungkinan itu.

“Sudah adzan zuhur. Aku ke masjid dulu. Kamu juga kan?” tanyanya saat kumandang azan menggema di toa masjid.

“Iya, ayo sekalian bareng ke sananya.”

Langkah kami akhirnya berbelok ke arah masjid.

“Aku senang, karena tiap kali datang ke masjid selalu lihat sepatu Mas Ta lebih dulu tertata di depan teras sebelah barat. Alhamdulillah sekarang sudah rajin ke masjid.”

Aku menoleh. Tidak menyangka Nayyara memperhatikan hal kecil sampai letak sepatu pun dia tahu.

“Ah, paling juga sepatunya orang lain.”

“Aku inget kok sepatu kamu itu yang sebelah kanan ada bekas goresannya. Coba deh lihat dulu, Mas.” selidiknya sambil sedikit menunduk.

“Iya, iya ada. Nih!” tunjukku dengan mengangkat satu kaki sebelah kanan. “Tapi kayaknya ini kode biar aku cepat ganti sepatu baru.”

“Nggak. Bukan gitu. Aku cuma mau mastiin kalau yang kulihat gak salah.”

“Itu artinya kamu perhatian sama aku. Tau nggak, rasanya diam-diam diperhatiin sama orang yang disuka?”

“Nggak, gak tau," jawabnya.

“Mangkanya suka dulu sama aku.”

Aku mengerling hati-hati menggodanya.

Nayyara hanya tertawa kecil. Tak ada sanggahan yang ia lontarkan seperti sebelum-sebelumnya.

KUFUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang