11

115 26 9
                                    


Cuaca masih sesendu hari sebelumnya. Tetes-tetes hujan yang jatuh menciptakan genangan di halaman berpafing yang kujejaki saat ini. Tumpukan air itu memantulkan cahaya oranye dan kemerahan yang berasal dari lampu-lampu gedung sekolah. Meski tidak begitu deras, Namun sengaja kugunakan payung agar air yang jatuh tak langsung mengenai tubuh.

Aku menggunakan payung berwarna abu pemberian Bintang. Lebih tepatnya payung Bintang yang tak kunjung kukembalikan hingga berujung dia harus mengikhlaskannya untukku.

Bahkan lebih dari urusan payung, Bintang adalah orang yang cukup peka dengan isi hatiku.

"Mas Ta gak pernah ketemu Maura lagi?" tanyaku sore itu ketika ia melakukan rutinitasnya menemaniku untuk menunggu kedatangan Pak Ibnu.

"Nggak lah. Ngapain?"

"Ya siapa tau dia kangen. Apalagi Mas Ta juga masih sering ke kost, kan?"

Aku pura-pura menggodanya, padahal maksud sebenarnya ingin tahu lebih jauh tentang perempuan itu dan bagaimana hubungan mereka saat ini.

"Jarang kok, Nay. Aku di kost paling cuma sejam dua jam buat istirahat. Itu pun kalau dosen pembimbing menunda waktu bimbingan. Kenapa? Kamu gak suka kalau aku ketemu Maura?" tanyanya sambil tersenyum. Kebiasaannya yang kerap menyelipkan kata untuk mencari tahu bagaimana sebenarnya isi hatiku.

"Nggak kok. Gak papa. Aku cuma takut dia membahayakan kamu lagi."

"Kemarin dia begitu mungkin karena aku memutuskan pertunangan tanpa sepengetahuan kedua orang tua kami. Tapi aku sudah ngomong sama Papa Mama mengenai hubunganku dengan Maura. Meski awalnya mereka keberatan dan tidak mudah melepas Maura, tapi akhirnya tetap harus menyetujui."

Maka setelah obrolan itu, aku mendengar Bintang tidak memperpanjang sewa kost yang saat ini ditempati. Dia pindah ke perumahan dekat kampus. Saat kutanyakan alasan kepindahannya itu, jawabannya pun mengejutkan. Hanya karena tidak ingin aku mikir dia masih berhubungan dengan Maura.

Baru tersadar senyum terus mengembang di sepanjang perjalanan saat kembali mengingat momen kebersamaan kami, mengingat bagaimana ia selalu melakukan hal-hal tak terduga hanya untuk menjaga perasaanku.

Terlihat beberapa santri tengah memperhatikanku. Sayangnya aku peduli lagi bagaimana penilaian mereka saat melihatku tersenyum sendiri di sepanjang perjalanan.

Sampai akhirnya kaki telah menjejaki halaman rumah.

Memang cukup lelah hari ini. Belum lagi hujan deras sejak pagi hingga siang tadi cukup menguras tenaga untuk bisa sampai ke tempat kegiatan tanpa basah kuyup. Karena tidak mungkin absen hanya gara-gara hujan.

Waktu libur di kampus hari ini kuhabiskan untuk melakukan sejumlah kegiatan di pesantren. Pagi tadi melakukan monitoring terhadap tim kesehatan pesantren. Siangnya mengisi seminar untuk siswa SMK jurusan kesehatan. Dan sore ini mengadakan rapat bulanan dengan para pengurus.

Aku menutup payung sesaat setelah sampai di teras rumah. Meletakkannya di dekat tiang karena masih cukup basah untuk dibawa ke dalam rumah.

Terdengar suara beberapa orang tertawa dari dalam. Suara laki-laki. Tapi itu bukan suara Abah dan Kak Qais. Kalau memang itu tamu, kenapa berada di ruang keluarga? Padahal biasanya Abah menemui tamu laki-laki di ruang tamu depan yang tidak memungkinkan suaranya terdengar sampai teras belakang.

Aku masuk ke dalam rumah melewati ruang tamu khusus perempuan untuk menuju ke ruang keluarga. Benar saja, kulihat dua orang tamu pria duduk di sofa. Ada juga Abah dan Kak Qais ikut menemani.

Aku masih berdiri mematung. Bingung harus bagaimana, sementara tangga menuju kamar berada di ruangan ini.

Kedua tamu itu belum sadar dengan kehadiranku karena mereka duduk membelakangi pintu. Hanya Kak Qais yang sempat melihatku sebentar.

KUFUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang