14

114 24 5
                                    

Bel jam muthala’ah berulang-ulang terdengar di seluruh penjuru pesantren. Dengan samar kudengar suara Umi seperti memanggil seseorang. Riuhnya suara bel membuatku tak mendengar dengan jelas siapa yang Umi panggil. Untuk memastikan, akhirnya kubuka pintu kamar. Benar saja, Umi melambai dari lantai satu memintaku untuk turun.

“Ada apa, Mi?” tanyaku sesaat setelah berada persis di depan Umi yang sepertinya tengah sibuk dengan ponsel yang digenggamnya itu.

“Itu ada Eva, mengantarkan surat rekomendasi untuk santri yang diutus menghadiri seminar.”

“Seminar apa, Umi?”

“Umi kurang ngerti, sana kamu temui Eva dulu. Umi masih ada telepon dari Bu Nyai Shofiyah.”

“Uminya Gus Rafif?”

“Iya,” jawab Umi sambil berlalu, sepertinya pembicaraan bersama Bu Nyai Shofiyah lebih menyita perhatian Umi, sehingga ia acuh tak acuh menjawab pertanyaanku. Mau tidak mau akhirnya aku yang keluar menemui santri bernama Eva itu.

Sesaat masih sempat mematut diri di depan cermin, merapikan jilbab yang tampak miring sebelum akhirnya memutar kenop pintu ruang tamu.

“Ada apa, Mbak?” tanyaku saat berada di hadapan perempuan dengan sebuah map di pangkuannya.

Aku ikut duduk berlesehan tepat di depan pintu. Maka seperti kebiasaan para santri pada umumnya, ia beringsut perlahan untuk menyalamiku. Meraih tangan lalu menciumnya meski aku tahu usianya selisih beberapa tahun di atasku.

Usai bersalaman, ia kembali mundur sedikit lalu sibuk dengan map dan beberapa lembar kertas yang ia pegang sejak tadi.

“Saya ingin meminta tanda-tangan surat rekomendasi untuk santri yang didelegasikan mengikuti seminar di Kediri.”

“Siapa yang diutus ke sana,” tanyaku sambil membaca sederet tulisan tentang surat rekomendasi itu.

“Saya sendiri, Ning. Tapi ....”

Suaranya tersendat, sepertinya ada sesuatu yang membuatnya berat untuk pergi.

“Tapi kenapa, Mbak Eva.”

“Besok lusa, di hari kedua acara seminar, saya ada acara keluarga. Insya Allah saya akan menerima pinangan seorang laki-laki, Ning. Jadi sekalian saya mau minta izin pulang dan ingin memberitahukan kalau saya hanya bisa datang di hari pertama.”

“Loh, itu acara penting. Kenapa tidak dari awal mencari orang lain saja.”

“Untuk pengurus putri yang lama sudah sibuk dengan tugasnya masing-masing. Kami juga sudah mengkoordinasikan dengan pengurus putra, dan hasilnya juga sama. Kebetulan berbarengan dengan beberapa acara dan kegiatan pesantren yang lain. Kalau tidak ada delegasi, eman-eman, Ning. Karena ini sekalian acara silaturrahim antar pondok se jawa timur.

“Ya, sudah. Kalau begitu saya sendiri yang berangkat. Mumpung lagi gak sibuk.”

Gadis itu seolah tak percaya dengan keputusan yang aku lontarkan barusan.

“Kamu fokus dengan acara pinangan kamu saja. Itu adalah hari istimewa buat kamu, masak malah sibuk dengan acara lain. Mau cari orang lain juga waktunya terlalu mepet.”

“Terima kasih, Ning, atas pengertian jenengan.”

“Untuk izin kamu, mana yang harus saya tanda tangani?”

Dengan cepat ia mencari-cari kartu izin yang ternyata terletak di antara beberapa tumpukan kertas lainnya. Segera ia menyerahkannya padaku. Tanpa berpikir panjang aku menandatangani.

“Ada lagi yang mau dibicarakan?” tanyaku sambil mengulurkan kartu izin yang sudah aku tandatangani itu.

“Sudah tidak ada, Ning.”

KUFUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang