1

360 37 0
                                    

Ruangan bercat putih dengan aroma khas zat kimia dan obat-obatan ini menjadi tempat yang rutin kukunjungi beberapa bulan terakhir. Di tempat ini, aku tak sendiri. Ada beberapa orang lainnya yang juga mengadu nasib bersamaku agar bisa segera lulus.

Suasana terasa sangat hening meski aku tak sedang sendiri. Masing-masing dari kami disibukkan dengan kegiatan mengamati sesuatu yang memang menjadi objek penelitian. Setiap saat akan selalu begitu. Hening. Sepi. Karena setiap pengamatan yang dilakukan membutuhkan ketelitian tinggi. Lalai sedikit sama saja sukarela mengulang penelitian dan menambah biaya semester.

Aku tengah duduk di depan alat yang beroperasi untuk menguji kadar endothelin-1 penderita demam berdarah dengue (DBD), kami biasa menyebut alat itu dengan sebutan Elisa Reader. Tak butuh waktu lama akhirnya monitor menunjukkan bahwa pengamatan selesai dan print out data keluar.

Rasanya beban di pikiran terhempas begitu saja saat bisa mengakhiri penelitian hari ini tanpa banyak kendala, juga lebih cepat dari biasanya. Sekarang, saatnya bersiap untuk pulang. Mencuci semua peralatan, dan meletakkannya kembali ke dalam loker.

Setelahnya, kuarahkan langkah untuk keluar dari ruangan yang bertuliskan Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran, berniat menunggu jemputan di tempat biasa. Namun, Langkahku harus terhenti di lobi fakultas bersama dengan para mahasiswa lain karena hujan lagi-lagi sedang menyirami bumi. Bedanya kali ini disertai dengan kilat dan petir. Aku fobia keduanya. Entah apa penyebabnya, aku lupa. Yang kuingat hanya doa yang diajarkan Abah saat petir mendera agar dentam hebat dalam dada ini bisa sedikit berkurang.

Kubaca berkali-kali doa sambil kupejamkan mata. Ruas-ruas jari pun terpaut cukup erat. Aku juga menempatkan diri di samping meja lobi agar kilat tak langsung tampak di depan mata, karena cahayanya masih bisa tembus ke dalam gedung yang bagian depannya dominan kaca.

Tak berselang lama, deru hujan berangsur memelan. Kuberanikan diri membuka mata. Namun, saat penglihatan terbuka dengan sempurna, pandangan langsung menangkap sosok pria yang tengah memperhatikanku di depan sana.

Wajah pria itu tak begitu familier. Penampilannya juga tidak serapi anak kedokteran pada umumnya. Kulihat ia segera mengalihkan pandangan, mungkin merasa tak enak sendiri karena telah tertangkap basah tengah memperhatikanku.

Hanya sesaat aku melihatnya, karena setelah itu aku tak menghiraukannya lagi.

Tepat pukul 16.00 WIB sore para mahasiswa yang masih berdiam diri di lobi-termasuk aku-akhirnya diminta keluar dari fakultas oleh satpam kecuali yang mengantongi izin lembur penelitian di laboratorium. Mau tidak mau kami berhambur keluar. Sebagian ada yang memutuskan untuk pulang, karena hujan sudah sepenuhnya reda. Dan tersisa dua orang saja yang masih berdiri di teras fakultas.

"Gak pulang, Mbak?"

Sebuah suara terdengar jelas di telinga. Suara yang berasal dari seorang pria yang juga berdiri di sampingku.

Aku bergeming. Meski tahu aku satu-satunya perempuan yang ada di tempat ini.

"Hei, Hello...." ulangnya menyapa dengan mengibas tangan ke arahku.

"Aku?" tanyaku pura-pura memastikan dengan menunjuk diri sendiri.

"Iya, siapa lagi? Gak pulang?"

"Belum."

"Masih ada yang ditunggu?"

Aku tersenyum. "Iya, nunggu jemputan."

KUFUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang