Banyak pertimbangan-pertimbangan yang akhirnya membuatku memilih pulang bersama Bintang. Aku perlu sesegera mungkin kembali ke kampus. Khawatir Pak Ibnu sudah menunggu, karena pagi tadi aku memberi tahu kalau akan pulang lebih awal hari ini. sementara aku sama sekali tidak bisa menghubungi. Baterai HP-ku lowbat.
Selain itu, aku juga malas berdebat dengan Bintang. Tidak mau membuat kegaduhan di tempat ini hanya gara-gara beradu argumen saat dia menahanku pulang sendiri.
Aku akan ikuti dulu apa maunya, meski hingga ia berjalan melewati, aku belum juga memberikan keputusan padanyam
Sejenak, aku membiarkannya berjalan lebih dulu, hingga tersadar kalau Bintang masih menggunakan baju koko dan sarung, persis seperti yang kulihat bersama Maura tadi. Dia belum menggantinya.
Saat menyadari aku tak kunjung mengikuti, Bintang akhirnya berbalik.
“Ayo,” pintanya.
Dengan ragu aku bangkit, berjalan mendekati Bintang yang sudah berdiri di samping motor.
Saat aku sibuk menaruh HP ke dalam tas, Bintang terlihat sudah siap hendak memasangkan helm padaku.
“Aku bisa sendiri, jangan biasa kayak gini.” gumamku sambil mengambil helm dari tangannya. Aku masih menampilkan raut wajah sedatar mungkin.
Tanpa menjawab, Bintang hanya mengangguk ragu sambil menungguku mengaitkan pengunci helm di bawah dagu.
Meski sebenarnya tak nyaman dengan caranya yang seperti itu, tapi aku berusaha memahami jika segalanya butuh proses. Terutama untuk kebiasaan Bintang di masa lalu, yang begitu bebas saat menjalin sebuah hubungan dengan seseorang.
Setidaknya ucapan sinisku tadi membuatnya mengerti kalau aku tidak suka.
Ini adalah pertama kalinya aku dibonceng laki-laki selain Kak Qais dan driver ojek. Entahlah, keputusanku ini benar atau salah. Yang pasti keadaan saat ini cukup mendesakku untuk akhirnya memilih kembali ke kampus bersama Bintang.
Motor pun melaju membelah jalan sesaat setelah aku menaiki motor dan duduk dengan sempurna. aku mencengkeram kuat behel motor bagian belakang agar dudukku tetap aman meski tanpa memegang Bintang. Jilbab lebarku melambai kesana kemari akibat terpaan angin, hingga beberapa kali aku harus menyingkirkan akibat lambaiannya kerap menutupi wajah.
Dengan jarak sedekat ini, Aku bisa mencium aroma maskulin parfum Bintang. Bahkan angin juga membawa aroma shampo Bintang hingga membuatnya begitu jelas di indera penciuman.
Dan ... desir itu kembali hadir perlahan.
Astaghfirullah.
Apa yang sebenarnya aku rasakan?
Belum habis pikiran-pikiran tentang Bintang. Suaranya kembali aku dengar.
“Nay, Gerimis. Aku cepetin dikit gak papa?” ucapnya setengah berteriak dengan membuka kaca helm. Sayangnya aku tidak begitu jelas mendengar. Angin dan deru suara kendaraan terlalu kuat menelan habis suara Bintang.
“Apa, Mas?” tanyaku juga ikut berteriak.
Bintang menoleh sedikit, sementara aku juga spontan mencondongkan kepala agar suara Bintang terdengar jelas. Namun, seketika helmku menabrak helm Bintang.
KAMU SEDANG MEMBACA
KUFU
RomanceJika pertemuanku dengannya adalah ketidak-sengajaan yang telah direncanakan Tuhan. Maka aku yakin, segalanya memiliki makna, meski kurasa semua ini terlalu menyakitkan. Layaknya selembar daun yang gugur, tentu Allah telah mengatur kapan dan di mana...