20

155 26 6
                                    

“Sepertinya kita perlu ngomong berdua. Tapi nanti, setelah acara khitbah benar-benar terjadi,” ucap Gus Rafif setelah sebelumnya ia tetap memutuskan untuk melanjutkan acara khitbah esok hari. Padahal aku berkali berusaha jujur tentang perasaan agar dia mundur dengan ketidak-pastianku.

Aku memutar mata jengah. Menatap sinis pintu ruangan yang terbuka lebar, setidaknya aku menemukan pelampiasan kekesalanku. Tak sedikit pun kuarahkan pandangan pada lelaki yang tengah duduk kaku di samping ranjang yang kutiduri.

“Apa lagi yang perlu dibicarakan, Gus? Bahkan semua sudah saya utarakan dengan sangat jelas kalau saya belum siap dengan ini semua.”

Aku sengaja memberi penekanan pada kata siap untuk kembali menyadarkannya.

“Harusnya kamu tau dengan terus-terusan berbicara seperti itu, sama saja kamu berulang-ulang menyakiti saya, Naya. Memang hak kamu untuk berbicara apa pun pada saya, saya sangat sadar akan hal itu. Tapi carilah cara yang tidak terlalu menyakiti hati orang lain? Bukankah itu adab?” 

Aku tercekat. Ucapannya begitu dalam menamparku, bahkan lebih menyakitkan dari tangan yang menyentuh pipi.

Apa sebenarnya yang diharapkan dari hubungan yang saling menyakiti seperti ini?

“Mulai sekarang tolong jangan lagi bilang kamu berat atau pun belum siap. Cukup sekali saja kamu katakan itu. Tidak perlu berulang-ulang. Orang yang tidak diharapkan itu jauh lebih peka perasaannya. Bahkan untuk terlihat baik-baik saja, ia kerap mengorbankan perasaannya sendiri.” Kali ini suaranya terdengar datar dan rendah tanpa ada penekanan.

Sesaat hening, 

“Maafkan saya.”

Kali ini aku berusaha menekan ego serendah mungkin untuk meminta maaf.

Aku memang salah.

“Tanpa kamu minta pun saya sudah memaafkan.” Sejenak Gus Rafif terdiam sebelum akhirnya melanjutkan.

“Berhentilah menangis.”

Aku menggeleng. Menyangkalnya. Harusnya dengan jarak sejauh ini, dia tak perlu tahu tentang tangisanku.

“Abah dan Umi kamu sebentar lagi datang.”

Benar saja, tak seberapa lama, Umi muncul berdua bersama Bintang dengan sejumlah obat dan berkas yang pegangnya. Sementara Abah sudah menunggu di mobil karena Pak Ibnu sudah lebih dulu dibawa.

Kali ini, aku memperhatikan Bintang yang lebih banyak mondar mandir untuk merapikan barang bawaan dan beberapa makanan juga botol air mineral di atas meja yang tadi sempat dibelinya untukku. Dia terlihat mengumpulkannya dalam satu tas kresek.

Wajahnya tampak sangat lelah. Bahkan ia seperti tak sempat merapikan peci yang digunakannya sehingga rambut bagian depan tersembul begitu saja.

Gus Rafif juga lebih dulu keluar sejak kedatangan Umi dan Bintang.

Perawat mulai melepas selang infus di tangan. Dari balik tubuh perawat yang tengah berdiri di hadapan, aku sesekali melempar pandangan pada Bintang. Ingin sekali berterima kasih atas kebaikannya malam ini. 

Bintang pun sepertinya sadar tengah dipandangi, karena di detik kemudian mata kami kembali bertemu. Ada dentam menyakitkan saat ia memperlihatkan senyum.

Bintang tersenyum padaku sambil mengangkat tangan yang mengepal seolah sedang memberiku kekuatan.

Aku ikut tersenyum, nanar.

Namun setelahnya, aku berusaha menundukkan pandangan, menatap kosong bekas infus di tangan yang telah ditutup plester.

***

KUFUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang