Siang ini langit tampak kelabu. Mendung hadir tanpa permisi, menguarkan aroma tanah yang sangat khas. Sementara pikiran masih tersita oleh wajah Nayyara. Gadis yang memberikan perubahan besar atas hidupku.
Satu hal yang paling kuingat, saat aku memutuskan mengikutinya pergi ke masjid di pertemuan kedua kami. Seusai salat tanpa sengaja aku melihatnya berdoa dengan sangat khusyu lewat celah tirai pemisah. Pemandangan itu membuatku berdiam sejenak. Mungkin sedikit terdengar lucu saat memutuskan untuk menetap hanya karena alasan ingin menyaksikan Nayyara berdoa. Entahlah. Positive vibes yang dimilikinya sangat kuat mempengaruhiku.
Hingga di satu titik perasaanku ikut terbawa saat melihat Naya begitu tenteram larut dalam doa-doa yang ia panjatkan. Aku bisa ikut merasakan perasaan damai walau sebentar. Karena setelahnya seperti ada tamparan keras menyadari aku nyaris lupa caranya berkomunikasi dan mengadu pada Tuhan. Entah kapan terakhir kali aku menggunakan sarung dan peci untuk menunaikan salat. Aku benar-benar lupa.
Nayyara adalah perempuan yang selalu tampil apa adanya. Dia pandai menjaga diri. Dia cukup pendiam. Aku justru tahu kalau Nayyara memiliki segudang prestasi dari orang lain. Aku juga mengetahui latar belakangnya sebagai putri seorang Kiai dari komentar beberapa foto tanpa caption di media sosial yang dia miliki.
Ibarat langit yang tidak pernah menjelaskan dirinya tinggi. Ibarat laut yang tidak pernah menjelaskan bahwa dirinya dalam. Nayyara pun begitu. Dia tidak pernah mengumbar apa pun tentang dirinya. Namun, caranya berdiam justru mampu menciptakan gemuruh dan gelombang hebat di dalam dada.
Memang sesederhana itu alasan kenapa Nayyara mampu menyita seluruh perhatianku.
“Mas, satu dosa akan menarik dosa-dosa lainnya. Saat kamu lalai untuk sholat, maka kamu akan malas mengaji dan malas berdoa. Hingga perlahan membuatmu benar-benar jauh dari Tuhan, juga membuat kamu mudah melakukan dosa yang lain. Itulah salah satu alasan hatimu akan mengeras dan sulit sekali mendapatkan ketenangan.”
Selalu kuingat ucapan itu. Kalimat yang memberiku jalan keluar dari kondisi terburuk yang sedang kualami. Kalimat ampuh yang akhirnya membuatku memutar arah untuk mengais sebuah ketenangan. Dua hari berturut-turut aku berusaha membuktikan ucapan Nayyara. Aku salat, aku mengaji, aku berdoa mengadukan segalanya pada Tuhan. Dan ajaibnya aku mendapatkan ketenangan itu, hingga di hari selanjutnya aku beribadah bukan lagi sebagai pembuktian, melainkan karena aku memang butuh. Itu yang akhirnya membawaku pada satu keputusan bahwa aku harus menjalani rehabilitasi.
Barangkali ini yang disebut jalan hidayah, lewat Nayyara. Lewat gadis yang sama sekali tidak pernah terlintas dipikirkanku sebelumnya. Dan gadis itu yang akhirnya membuatku berada di tempat ini dan nyantri di sini. Di pesantren Ainul Huda. Dia gadis yang membuatku sadar bahwa sumber ketenangan yang sesungguhnya adalah saat kita dekat dengan sang pencipta.
Memang awalnya hanya sebatas kagum, tapi seiring berlalunya waktu pendar wajahnya sangat sulit kulenyapkan, sampai-sampai menemui Nayyara menjadi kebiasaan favoritku.
Sayangnya, beberapa hari ini aku sengaja tidak memberinya kabar meski sekedar memberitahu kalau aku sudah di pesantren.
Rindu? Jelas iya.
Dan bisa-bisanya rindu bisa membuatku berhalusinasi seolah Nayyara berjalan mendekat ke arahku. Beberapa kali mengerjap, tapi sosoknya tampak sangat nyata. Ini bukan halusinasi. Aku juga baru sadar kalau di sampingnya ada Gus Rafif menemani dan dua orang santri putra lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KUFU
RomanceJika pertemuanku dengannya adalah ketidak-sengajaan yang telah direncanakan Tuhan. Maka aku yakin, segalanya memiliki makna, meski kurasa semua ini terlalu menyakitkan. Layaknya selembar daun yang gugur, tentu Allah telah mengatur kapan dan di mana...