15

107 18 1
                                    

Sesuai keinginanku, Abah memberiku izin menghadiri seminar lewat Umi. Dengan syarat aku hanya bisa mengikuti acara selama dua hari saja. 

Tidak masalah. Setidaknya kepergian kali ini adalah salah satu caraku untuk self healing sebelum akhirnya kebebasanku terenggut oleh yang namanya ikatan dengan seseorang.

Sempat menemui Abah sebelum aku dan Pak Ibnu berangkat. Aku juga berkesempatan untuk mencium punggung tangannya. Tidak ada respons berlebihan yang Abah tunjukkan. Bahkan sikapnya terlalu dingin untukku. Hanya ucapan hati-hati yang Abah lontarkan tanpa mengalihkan pandangan dari kitab yang sedang dibacanya.

Jam satu siang akhirnya aku keluar dari rumah. Seperti biasa, Umi mengantarku sampai teras. Entah ini yang ke berapa kalinya Umi mengingatkanku agar besok lusa aku wajib pulang. Tidak pernah ada jawaban lain dariku selain mengiyakan permintaan Umi sembari memberikan senyuman terbaikku. Meski sebenarnya hati belum bisa selepas senyum yang kutunjukkan.

Setidaknya saat melihat bagaimana paras teduh itu tampak lega, cukup menjadi imbalan atas resahku dengan perjodohan ini.

“Naya berangkat dulu, Umi.”

“Iya, Nduk. Jaga diri baik-baik di sana.”

“Iya, Mi. Assalamualaikum.”

“Waaalaiku salam.”

Hanya dengan slingbag yang menggantung di bahu, aku meninggalkan Umi, berjalan menuju mobil yang dari beberapa menit lalu sudah menyala. Namun, saat baru saja berjalan beberapa langkah.

“Assalamualaikum.” 

Terdengar seseorang mengucap salam dari balik pintu gerbang.

“Waalaikum salam,” jawabku serentak dengan Umi. 

Seketika pandanganku tertuju pada sumber suara. Aku sedikit tercekat saat mengetahui yang datang itu adalah Gus Rafif bersama Sang Umi, Bu Nyai Shofiyah.

Dengan keadaan seperti ini bisa-bisa aku gagal pergi. 

Niatku yang semula hendak menuju mobil akhirnya kuurungkan, dan lebih memilih melangkah mendekati Bu Nyai dan Gus Rafif. Umi di belakangku sepertinya juga ikut mendekat.

Aku menyalami Umi Gus Rafif dan memberikan sebuah senyuman pada pemuda di sampingnya. 

Tatapan Bu Nyai menyapu penampilanku.

“Naya mau keluar?”

Benar saja, pertanyaan itu yang akhirnya terlontar.

“Injih,” jawabku tak panjang lebar karena khawatir ditanya-tanya lebih banyak.

Sepertinya Bu Nyai hendak mengutarakan pertanyaan lagi. Namun beruntung Umi segera datang.

“Ya Allah, kok tidak memberi kabar kalau mau datang ke sini.”

Barangkali karena terlalu bahagia kedatangan Bu Nyai Shofiyah, Umi menyambutnya dengan sedikit histeris.

“Kalau ngasih kabar nanti malah jenengan repot nyiapin dan bikin macem-macem.”

“Gak ada kata repot kalau untuk tamu istimewa.” Tawa ringan Umi dan Bu Nyai terlihat sangat lepas. Jelas terlihat bagaimana mereka sangat kompak dan akrab satu sama lain. Sementara Aku dan Gus Rafif hanya tersenyum mengikuti alur pembicaraan mereka sambil sesekali kurasakan pemuda itu melempar pandangan padaku 

“Monggo kita bicaranya di dalam saja.” Lanjut Umi lagi. Mempersilakan.

“Ayo, Le!” ajak Bu Nyai pada putranya itu.

Namun, seketika suasana mendadak kaku saat menyadari kondisiku yang kebingungan harus menetap atau memilih pergi. Umi bahkan tampak memberi kode agar aku ikut masuk ke dalam dulu.

KUFUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang