17

126 20 9
                                    

Aku meraih kotak berwarna putih yang terbungkus tas keresek dengan warna serupa. Pemberian Bintang yang sejak tadi terus menyita perhatianku. 

Aku membuka pembungkusnya satu persatu hingga tercium seperti aroma martabak telur. Ternyata dugaanku tidak meleset. Isinya memang martabak telur. Selain itu, Bintang juga membelikanku satu gelas jus tanpa es yang sudah kuminum separuh.

Aku sengaja hanya mengambil 3 potong martabak karena tidak mungkin juga menghabiskannya sendirian. Selebihnya aku berikan pada Pak Ibnu. Mungkin karena memang porsi makanku sedikit, jadinya makan tiga potong saja perut sudah terasa kenyang. Bahkan potongan ketiga harus bersusah payah dulu untuk menelannya.

Aku hanya sanggup menyeruput habis jus tanpa es itu. Dan setelahnya, sengaja mengambil foto wadah jus yang sudah kosong tadi untuk kukirimkan pada Bintang.

“Mas, jusnya sudah aku habiskan. Martabaknya masih ada, tapi jatah buat Pak Ibnu.” Aku mengirimkan Bintang bersama foto yang kuambil barusan. 

Sayangnya Bintang tak kunjung membalas hingga beberapa menit berlalu. Mataku juga sudah mulai berkunang-kunang saat terlalu lama melihat HP. 

“Mas Bintang juga ikut seminar, ya, Ning?”

Tiba-tiba saja Pak Ibnu menyeletuk menanyakan Bintang. Aku yang semula memperhatikan HP kini kumatikan layarnya.

“Iya, Pak. Utusan dari pesantrennya Gus Rafif.”

“Saya lihat Mas Bintang perhatian sekali sama Ning Naya.”

Sempat kulihat lewat kaca spion, Pak Ibnu tersenyum dengan pandangan fokus pada jalanan di depan sana.

Aku ikut tersenyum saat orang lain pun menyadari perhatian Bintang terhadapku.

“Mungkin karena saya juga baik sama dia, Pak.”

“Yang saya lihat Mas Bintang sepertinya menyukai Ning Naya.

“Halah ... suka dari mananya.”

“Sepenglihatan Bapak saja, Ning. Entah kalau Ning Naya bagaimana? Karena selama hampir 4 tahun jadi supir, Bapak belum pernah melihat Ning Naya dekat dengan laki-laki selain dengan Mas Bintang.”

“Udah, ah. Dia cuma kebetulan jadi pasien saya.”

“Enggeh, Ning.”

Setelahnya tak ada lagi perbincangan mengenai Bintang. Pak Ibnu sepertinya mengerti jika masalah perasaan adalah ranah pribadiku dan Bintang yang tak boleh terjamah oleh siapa pun.

Masih sempat kulihat jam di layar ponsel menunjukkan pukul 21.00. Aku berniat menurunkan sandaran jok agar bisa bersandar lebih enak. Bersyukur jika nantinya bisa terlelap, karena beberapa malam terakhir  jarang menemukan ketenangan. Tentu tahu sekacau apa otak saat pikiran berperang dengan perasaan, bahkan untuk tidur pun rasanya susah.

Kadang di satu waktu aku berada di level pasrah mau seperti apa pun alur yang harus aku tempuh. Namun, kehadiran Bintang yang kerap menghangatkan hatiku mampu memantik sebuah harapan baru.

Aku ingin lebih lama menikmati kebahagiaan ini, meski sekedar menyimpan perasaan sendiri. 

Cukup lama aku memejam walau dengan pikiran yang belum sepenuhnya tenang. Hingga dering panggilan masuk membuatku mengangkat HP yang sejak tadi masih kugenggam. Masih dengan mata menyipit kulihat siapa yang menelepon. 

Tampak nama Bintang yang muncul di layar. Tanpa pikir panjang lagi aku mengangkatnya.

“Assalamualaikum, Nay.”

“Waalaikum salam, Mas.”

“Sudah sampai mana?”

Aku menegakkan tubuh untuk melihat keluar mobil saat Bintang menanyakan posisiku saat ini. Sayangnya di luar cukup gelap. Hanya lampu-lampu rumah yang tampak seperti bulatan-bulatan kecil di bawah sana. 

KUFUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang