19

131 22 6
                                    

Alwalnya aku sama sekali tidak berharap apa pun atas perjodohan ini. Aku sadar betul dengan keseharian Nayyara yang memiliki banyak waktu di luar, juga bagaimana akses untuk berinteraksi dengan teman lelakinya sangatlah mudah. Jadi bukan hal yang tidak mungkin jika ternyata ia memiliki pilihan lain perihal pasangan.

“Kamu sekarang sudah semester berapa, Sal?”

Aku baru teringat Faisal, seorang khodim yang pernah membantu keseharianku selama kurang lebih 4 tahun. 

Sengaja menghubungi Faisal karena baru kuingat dulu ia mendaftar kuliah di Universitas dan jurusan yang sama dengan Nayyara. Jurusan kedokteran. Entah lolos atau tidak? Kalau memang dia lolos, barangkali aku bisa menggali banyak informasi tentang Nayyara lewat Faisal.

“Baru semester 4, Gus,” jawabnya.

“Jadi masuk jurusan kedokteran di Universitas Dharma Agung?

“Iya, Gus. Alhamdulillah jadi dan keterima. Berkat doa jenengan juga.”

“Syukurlah. Bisa-bisanya selama ini saya gak tau progres akademik kamu. Padahal ya saya terbilang sering ngubungi kamu.”

“Jenengan ndak pernah lihat story WA saya.”

“Kayak gak ada kerjaan aja saya lihat story WA kamu.”

Tumben Jenengan telepon saya, Gus? Biasanya hanya ngirimkan pesan. Pasti ini ada sesuatu.”

“Ada yang mau saya tanyakan. Emm... Kalau kamu kuliahnya di jurusan kedokteran berarti kenal dong sama Nayyara. Dia Senior kamu, kan?”

“Benar, Gus. Kak Nayyara senior saya. Pernah juga sekali jadi asisten praktikum saya.”

“Kenal dekat berarti?”

“Mboten. Saya hanya bertegur sapa saat berpapasan saja. Itu pun ketemunya pas Mbak Nayyara nunggu dosen pembimbing atau nunggu jemputan di depan fakultas. Jenengan tumben juga tanya-tanya ... masalah perempuan?”

“Dia calon tunangan saya, sal.”

“Ah, benar dugaan saya. Pasti ada apa-apa. Sepertinya saya tau apa yang harus saya lakukan.”

“Kamu dari dulu emang khadim paling cerdas," pujiku.

Lewat Faisal aku jadi tahu bagaimana kebiasaan Nayyara di kampusnya. Faisal pun dengan cekatan sering mengambil gambar Nayyara diam-diam lalu mengirimkannya padaku. Misal, saat Nayyara menjadi moderator seminar nasional, saat Nayyara ikut kajian, saat Nayyara ke masjid, bahkan saat Nayyara menunggu jemputan pun dia kirimkan fotonya padaku. 

Dari cerita-cerita Faisal tentang Nayyara, aku akhirnya bisa menarik kesimpulan jika tak ada lelaki yang sedang dekat dengan gadis itu.

Aku tidak peduli jika sikapku yang seperti ini dianggap salah oleh orang lain. Inginku sederhana. Aku hanya tidak ingin punya masalah dengan siapa pun, apalagi memperebutkan perempuan. Juga, ini salah satu caraku memastikan kalau Nayyara adalah perempuan yang layak diperjuangkan.

Aku begini bukan lantas tidak mempercayai pola didik Kiai Ja’far terhadap putrinya. Bukan begitu. Aku hanya ingin tahu bagaimana keseharian calon istriku di luar kapasitas penjagaan orang tuanya. Setidaknya aku perlu memastikan perumpamaan “seorang santri ketika keluar pesantren ibarat burung yang baru keluar dari sangkarnya, terbang bebas tak terkendali” tidak berlaku untuk Nayyara.

Pembawaannya yang humble, ceria, dan nyambung ketika diajak berdiskusi perlahan meruntuhkan pertahananku yang sebelumnya tak ingin terlalu berharap lebih atas perjodohan yang direncanakan oleh Abah dan Umi.

Maka dari saat itu, pendarnya kerap menggangguku. Aku pikir Nayyara pun sama. Nyatanya aku salah. Sialnya aku seperti tengah tersesat dan tidak tau arah jalan kembali.

KUFUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang