16

116 22 1
                                    

Penat baru kurasakan setelah beberapa saat menghabiskan waktu untuk mengobrol lumayan panjang bersama Mbak Davina—teman sekamar yang merupakan utusan dari pesantren Raudlatul Ulum Jombang. Hampir satu setengah jam kami bertukar cerita tentang pesantren masing-masing. Sampai akhirnya aku dan Mbak Davina memutuskan untuk beristirahat.

Sayangnya 30 menit berbaring di atas ranjang tak membuatku segera terlelap. Sepertinya pikiran masih perlu beradaptasi dengan suasana yang terasa asing ini. Hingga timbul keinginan untuk menghubungi Bintang terlebih dahulu.

Sesaat aku termangu.

Masih ragu untuk mengetikkan sebuah pesan untuknya. Padahal benda dengan layar menyala ini sudah di genggaman. 

Namun, detik berikutnya ...

“Mas ....”

Satu kata itu yang kutulis, menunggu hingga ada respons dari Bintang.

Cukup lama menatap layar, berharap tanda centang dua itu berubah warna menjadi biru. 

Karena cukup frustrasi memikirkan tanda yang tak kunjung berubah warna, akhirnya kuhapus saja pesan yang kukirim.

Ah, sejak kapan aku bisa selabil ini?

[Naya ... kok dihapus? Ngirim apaan emang?] Baru beberapa saat pesan kuhapus, Bintang ternyata online.

[Gak jadi, Mas.]

[Lah, kenapa?]

[Kelamaan balasnya.]

[Biasanya juga ngerti kalau malam gak bisa wa-an. Tapi ini tumben. Paling tau dari Gus Rafif kalau aku lagi gak di pondok.]

Aku mengirimkan foto nama yang sempat kuambil di pos satpam tadi.

[Dapat dari mana tulisan ini? Jangan bilang kamu punya mata-mata.]

Aku membalas dengan mengirimkan lokasiku saat ini.

[40 meter dari tempatku? Beneran kamu di sini? Aku lagi di smoking area dekat satpam.] 

Baru teringat kalau tadi kebagian kamar di lantai 2 paling ujung, dekat dengan tembok pembatas antara wisma dengan jalan raya. Pasti akan terlihat kalau smoking area memang berada dekat dengan pos satpam seperti yang dikatakan Bintang.

Sejenak, kulihat Mbak Davina yang sedang berbaring di ranjang sebelah. Dengkuran halus membuatku sangat yakin kalau Mbak Davina sudah terlelap.

Tanpa pikir panjang aku segera menyingkap selimut, bangkit menuju jendela.

Dan saat baru saja menyibak tirai.

[Naya, kok gak dibalas?]

Dia kembali mengirimiku pesan.

Di bawah sana, aku melihat pemuda dengan kemeja hitam duduk ditemani satpam persis di sebelah pos tempat aku mengisi data diri. Sayangnya aku tidak bisa memastikan dengan jelas itu Bintang atau bukan. Wajah itu hanya tampak dari samping, bahkan sesekali membelakangi.

Aku berniat mengambil gambar Bintang. Hanya dengan sentuhan saja foto dua orang di bawah sana tampak di layar.

Aku kembali mengiriminya foto itu.

“Iya, benar, ini aku,” balasnya.

Tak lama ia berbalik sambil menunjuk-nunjuk area wisma putri sambil berbincang dengan seseorang di sampingnya.

Refleks aku menutup tirai sambil mengetikkan pesan balasan untuknya.

“Ngapain lihat ke sini sambil nunjuk-nunjuk?”

“Aku ngasih tau satpam, kalau di atas sana ada cewek yang sejak tadi rela berdiri di balik jendela cuma buat ngeliatin aku di sini.”

Entah sejak kapan aku jadi salah tingkah hanya dengan membaca pesan dari Bintang. Padahal aku tau betul itu hanya bahan candaannya saja.

KUFUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang