5

178 23 0
                                    

Selepas jamaah subuh, aku mencari Abah. Berniat meminta izin untuk pergi ke pesantren Ainul Huda menemui Gus Rafif. Sengaja memberitahu Abah sepagi ini, karena aku tak punya waktu lagi, di jam piket santri Abah biasa berkeliling ma'had. Sementara aku berencana untuk berangkat sepagi mungkin.

Kulihat Abah sedang maos Alquran di ruang tengah. Sepertinya ia menyadari kedatanganku, karena tepat setelah berdiri di sampingnya, Abah mengakhiri bacaan Alqurannya.

"Ada apa, Nduk?" tanyanya.

"Pagi ini Aya mau minta izin keluar, Bah. Mau bertemu Gus Rafif untuk menindak lanjuti proses pemulihan santri didikannya itu."

Belum kudengar jawaban apa pun. Abah bangkit untuk meletakkan Alquran di rak khusus tempat Alquran.

"Sebenarnya Abah itu kepikiran kalau membiarkanmu datang ke dhalem Gus Rafif sendirian. Kamu pasti mengerti maksud Abah."

"Kalau begitu Naya akan mengajak teman. Atau sama kak Qais kalau Kakak hari ini gak ada kegiatan.

"Baiklah ...." Abah diam sejenak. Ucapannya terdengar menggantung. Hingga di detik kemudian. "Sebenarnya beberapa waktu lalu ada pembicaraan serius antara Abah dengan Kiyai Dahlan tentang kamu dengan putranya-Gus Rafif."

"Abah mau menjodohkan Naya?" tebakku tanpa basa basi.

"Abah belum memutuskan."

"Naya sangat berharap tidak kehilangan hak untuk menentukan siapa yang akan menjadi pasangan hidup Naya nantinya. Kalaupun ada perjodohan semoga Allah selalu menjaga Naya dari apa pun yang membuat suul adab terhadap Abah dan Umi. Naya mau biarkan semuanya berproses, Bah."

"Iya, Abah sangat mengerti itu. Kamu sudah dewasa. Sejauh ini kamu tidak pernah mengecewakan Abah dalam memilih jalan masa depan kamu. Abah juga yakin anak gadis Abah tidak akan pernah mengecewakan dalam hal memilih jodoh. Jika memang ada perjodohan tentu segalanya harus berproses seperti yang kamu bilang tadi, karena nantinya kamu yang akan menjalani pernikahan."

Dalam remang, kulihat senyum Abah. Senyum penuh arti. Aku ikut tersenyum, betapa Abah selalu memberi kebebasan pada anak-anaknya untuk memilih, tapi tidakkah ini bertanda aku memiliki tanggung jawab yang jauh lebih besar dibandingkan menentukan karierku ke depan.

***

"Naya hari ini jadi datang ke pesantren?

"Iya, Kak."

"Sendiri? Emm... Maksudnya hanya berdua sama sopir?"

"Nggak kok, ada Kak Qais Juga."

"Oh Kak Qais juga ikut? Sudah nyampe mana?"

"Nanti saya shareloc biar gak salah lokasi."

"Sampe segitunya, ya?"

"Iya, dong. Kalau salah nanti saya dosa."

Terdengar tawa renyah pria di seberang sana. Lalu obrolan kami berakhir dengan sebuah ucapan hati-hati darinya.

Gus Rafif meneleponku. Tiga panggilan sebelumnya terlewat karena pengaturan HP masih dalam mode hening. Aku lupa mengubahnya, tadi. Pandangan masih belum beralih dari layar HP, membuka satu persatu pesan WA yang masuk. Hingga sebuah lambaian seseorang di kursi samping kemudi membuatku mengalihkan perhatian dari layar pipih di genggaman.

Kak Qais.

"Ternyata kalian sudah saling dekat, ya. Enak dong, kalau nikah nanti gak butuh waktu lama buat beradaptasi."

"Apaan sih, Kak."

Lagi-lagi masalah pernikahan. Aku yakin banyak hal yang sudah dibahas tentang perjodohan ini tanpa sepengetahuanku.

KUFUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang