Pada malam yang bergerak semakin kelam, ada kehampaan yang gagal aku enyahkan. Dipaksa pasrah saat rasa berkali terbunuh oleh skenario semesta.
Aku pikir ini saatnya aku pergi, aku telah kalah. Namun, di mata pemilik manik hitam itu menyiratkan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang seolah memberiku celah untuk tidak lantas geming.
"Aku hanya dikhitbah, Mas," ucapnya sangat lirih. Jelas terlihat bagaimana wajahnya seketika berubah pias.
Nayyara memang gemar menyiksaku dengan bahasa-bahasa isyarat semacam itu. Siapa pun yang mendengar ucapan Nayyara barangkali akan memiliki pikiran yang sama denganku, bahwa khitbah yang dijalani bukanlah satu hal yang istimewa untuknya.
Aku terdiam cukup lama, menatap lekat mata yang kembali berkabut itu. Sengaja tidak memberikan respons. Sehingga setelahnya, wajah Nayyara lebih dulu tertunduk nelangsa.
Perlahan ia menarik mundur kursi untuk duduk tepat di hadapan. Aku masih sadar kondisi, karena keberadaanku riskan membuat Nayyara kembali tersudutkan.
Semesta selalu memiliki cara untuk mempertemukan. Ya, seperti saat ini. Kesempatan langka bisa makan ditemani Nayyara. Beruntung yang kutemui saat ini hanya Bu Nyai Sa'diyah-Umi Nayyara.
"Aku ...." ucapnya ragu. Entah apa yang hendak dikatakannya.
"Gak usah diomongin di sini."
Sengaja memotong pembicaraannya karena lagi-lagi aku menangkap beberapa mata tengah memperhatikan. Aku bahkan harus berpura-pura terlihat baik-baik saja, padahal banyak sekali yang ingin aku utarakan.
Aku beralih mengambil beberapa lauk meski sebenarnya telah kehilangan selera makan sejak Nayyara memberitahu mengenai acara khitbah tadi.
Hening. Yang terdengar hanya bunyi denting sendok yang beradu dengan piring.
"Kamu gak ikut makan?" tanyaku saat melihat Nayyara masih termangu.
"Mas Ta aja yang makan."
"Kamu pasti lebih tau kalau setelah pengakuan kamu tadi makanan ini mendadak gak ingin aku sentuh sama sekali. Tapi aku gak mau bikin kamu kecewa."
Aku mengambilkan nasi dan lauk ke atas piring porselen di hadapannya tanpa meminta persetujuan.
"Makan dulu .... setidaknya buat aku."
Matanya membulat nampak terkesiap mendengar ucapanku. Setelahnya dengan ragu ia menyuap nasi yang aku ambilkan.
Wajah itu tertunduk. Sesekali aku memperhatikan. Sesuap, dua suap lolos disantapnya. Hingga tersadar ada tetes demi tetes air yang membasahi permukaan piring.
Aku menghela napas dalam-dalam. Tidak sampai hati melihatnya terisak, sementara aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Kembali kuingat satu persatu sikap Nayyara, mengumpulkannya seperti kepingan puzzle yang akhirnya tersusun utuh, sehingga memperjelas segalanya. Memperjelas perasaannya.
Bukankah sikap adalah penerjemah paling hebat atas apa yang tersimpan dalam hati?
Aku mengarahkan pandangan ke arah dapur tempat di mana para santri itu mengawasi kami. Beruntung mereka kembali sibuk dengan aktivitasnya.
Saat ini Kekhawatiranku pada Nayyara melampaui segalanya.
"Ini minum dulu." Aku menyodorkan air yang memang disediakan untukku tepat ke hadapan Nayyara.
Gadis itu buru-buru menyeka air mata tanpa berani mengangkat wajah. Lalu mengambil alih gelas di tangan.
"Setelah ini aku langsung pulang. Kayaknya gak pulang ke pondok dulu. Cari penginapan dekat sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
KUFU
RomanceJika pertemuanku dengannya adalah ketidak-sengajaan yang telah direncanakan Tuhan. Maka aku yakin, segalanya memiliki makna, meski kurasa semua ini terlalu menyakitkan. Layaknya selembar daun yang gugur, tentu Allah telah mengatur kapan dan di mana...