Mulai hari ini hingga beberapa hari ke depan, atau bahkan hingga beberapa bulan ke depan mungkin akan menjadi masa-masa terberat yang akan kulalui. Posisiku benar-benar tersudutkan keadaan. Bagaimana tidak! Di saat seseorang dengan terang-terang ingin berubah dan menjemput hidayah dengan mengharap sebuah bantuan dariku, maka aku sama sekali tidak memiliki alasan untuk menolaknya.
Tak mudah melakukan semua ini, aku harus memiliki keyakinan melebihi batas keyakinan Bintang atas dirinya. Aku hanya perlu sedikit waktu hingga membuatnya berdiri dengan kokoh, hingga waktu benar-benar menelan penuh rutinitas buruknya itu.
"Aku nggak mungkin berobat ke tempat rehabilitasi dalam keadaan seperti ini, Nay. Aku emang pengen banget sembuh, tapi aku harus lulus tahun ini. Setidaknya dengan lulus, aku bisa sedikit menebus sakit hatinya Papa dan Mama. Ngasih Papa mamaku kebahagiaan, meski gak seberapa, meski itu tetap gak akan pernah Membuat mereka bangga sama aku."
Begitulah kalimat yang terucap malam itu. Aku mengerti, betapa pelik permasalahan hidup Bintang saat ini, lebih-lebih berhubungan dengan orang tua, dua orang yang seharusnya menjadi garda terdepan sebagai pembela, kini justru paling lantang menyudutkan.
Bintang juga mengaku beberapa kali berusaha lepas dari obat-obat terlarang itu. Tapi berkali-kali juga ia gagal. Tidak sempat terlintas untuk bertanya banyak hal padanya. Kupikir dengan pengakuannya saja sudah lebih dari cukup bagiku. Mengingat tak banyak para pecandu yang mau membuka diri dan mengakui bahwa mereka menggunakan narkoba.
Memang sulit untuk lepas dari pengaruh narkoba, karena di saat penghentian atau pengurangan dosis dilakukan secara tiba-tiba maka tubuh akan mengalami Withdrawal syndrome (gejala putus obat) yang juga sering disebut sakaw.
***
"Aku tadi sudah bertemu Dokter Andin-spesialis adiksi obat. Sempat berdiskusi banyak hal, dan akhirnya Dokter Andin setuju untuk melimpahkan proses pengobatan Mas Ta padaku, tentu masih di bawah pengawasannya," ucapku dengan selirih mungkin, bahkan aku menunggu hingga tak ada seorang pun yang berlalu lalang di sekitar kami.
Ya, kami memutuskan untuk bertemu di cafetaria perpustakaan siang ini.
"Syukurlah," jawabnya kemudian.
"Boleh aku tanya sesuatu?"
Dia mengangguk pasti.
"Kapan terakhir Mas Ta make?"
Aku menyeruput hot chocolate kesukaan sambil menunggu jawaban Bintang. Dari balik cangkir yang menutupi separuh wajah, tampak wajah Bintang tengah kebingungan. Entah apa yang membuatnya begitu. Mungkin masih ingin menutupi banyak hal dariku.
"Aku berharap Mas Ta sudah bersepakat dengan baik dengan diri sendiri untuk bisa komitmen berhenti menggunakan barang itu."
Dia mengangguk ragu. "Keputusanku untuk berhenti sudah bulat, Nay. Mungkin aku hanya haus dukungan dari orang-orang terdekatku. Aku juga sudah lama menghindari teman-teman yang toxic."
Sorot matanya tak bisa berbohong. Tatapannya terlihat hampa. Meski aku tidak tahu pasti satu persatu permasalahan yang sedang ia hadapi, tapi bisa kulihat jelas kesedihan itu saat ia menyinggung orang-orang terdekatnya.
"Beruntung Tuhan menghadirkan kamu di hidup aku," ucapnya lirih. Aku bisa merasakan betapa ia benar-benar membutuhkanku, saat ini.
Aku masih bergeming.
"Sekarang, kamu adalah support system terbaik yang kupunya. Entah apa jadinya kalau gak ada kamu," lanjutnya dengan wajah berbinar. Senyumnya kembali mengembang begitu saja. Andai aku boleh merangkum arti senyum Bintang selama ini, maka senyum paling lepas adalah senyum yang kulihat barusan, seolah ia tengah menemukan semangat barunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KUFU
RomanceJika pertemuanku dengannya adalah ketidak-sengajaan yang telah direncanakan Tuhan. Maka aku yakin, segalanya memiliki makna, meski kurasa semua ini terlalu menyakitkan. Layaknya selembar daun yang gugur, tentu Allah telah mengatur kapan dan di mana...