2

232 33 6
                                    

Aku mengerti maksud kedatangan Maura yang secara tiba-tiba ini. Jelas terlihat betapa ia tidak rela jika tunangannya itu banyak menghabiskan waktu denganku. Tak banyak yang diutarakan, sebatas memberi tahu jika ia memiliki hubungan serius dengan pria yang baru beberapa hari kukenal. Selebihnya aku hanya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di antara kami, di mana aku pernah satu kali membantunya melakukan pengamatan. Dan masalah ia sering menemaniku menunggu jemputan, kupikir itu adalah imbalan karena aku satu-satunya orang yang bersedia meringankan bebannya saat ia sedang kesulitan melakukan penelitian, atau bisa jadi karena memang sifatnya yang sebaik itu. Entahlah.

Ah! Maura bahkan terlihat sangat takut kehilangan Bintang. Harusnya dengan melihat seperti apa aku, bukankah tak ada yang perlu dikhawatirkan. Parasnya yang cantik nyaris mendekati sempurna, berkulit putih nan bersih, dengan penampilan sangat fashionable, sungguh jauh jika dibandingkan denganku yang tidak tahu caranya ber-make up, bahkan hanya terbiasa menggunakan rok dengan baju over size dan sneakers. Ya ... meski untuk warna kulit kita memang tidak jauh berbeda.

Maura terdiam cukup lama setelah mendengar penjelasanku. Tidakkah ia tahu jika ini adalah hal yang paling tak penting bagiku, terlibat dengan relationship seseorang. Sama tak pentingnya dengan ada tidaknya Bintang.

Sebatas apa yang terlihat, satu hal yang tak kumengerti. Dengan segala kelebihan yang Maura miliki, kenapa pilihannya jatuh pada Bintang, yang untuk lulus saja menunggu detik-detik dia di-DO. Bahkan kalau tidak bisa sidang semester ini, bisa jadi ia akan menjadi anak kuliahan terlama tanpa membawa pulang ijazah.

Beberapa saat kita tak saling bicara. Barangkali tak ada lagi perlu dibahas lagi. Aku justru berharap Maura segera pergi, atau Pak Ibnu segera muncul di hadapan. Sayangnya Maura masih betah duduk di sampingku hingga terdengar ia kembali membuat satu permintaan.

"Mungkin sebaiknya kamu juga tak perlu membantunya lagi. Tak perlu berinteraksi terlalu dekat dengannya. Karena banyak hal yang tak bisa aku jelaskan tentang bagaimana Bintang sebenarnya. Dan ini demi kebaikan kamu."

Kudengar juga hela napasnya menggantung diudara. Aku hanya mengiyakan tanpa banyak berbicara.

"Terima kasih sudah mengerti," ucapnya sambil tersenyum. Senyum yang tak bisa kuartikan apa maksudnya.

***

Hari libur kali ini aku dan Mbak Zafira-istri Kak Qais cukup sibuk membantu Umi dan Mbak-Mbak dhalem menyiapkan berbagai suguhan untuk tamu yang sebentar lagi akan datang. Kiai Dahlan-salah satu teman Abah semasa mondok- akan betandang ke rumah. Beliau adalah pengasuh di pesantren Ainul Huda Pasuruan. Aku mendengar dari Umi kalau putra putrinya akan ikut serta. Tapi yang kutahu hanya nama putra sulungnya, Halim Rafif Syabani. Itu pun karena umi tak henti-henti bercerita tentangnya. Dari bagaimana kepandaiannya, akhlaknya, latar belakang pendidikannya hingga ketampanannya.

Entah apa yang membuat Umi begitu antusias menyuruhku untuk segera mandi dan mengenakan pakaian yang rapi. Umi juga memintaku untuk sedikit menggunakan make up. Ada-ada saja permintaan Umi. Padahal ia tahu betul aku hanya biasa menggunakan skincare dan liptint saja. Hingga ucapan Mbak Zafira barusan selalu terngiang-ngiang di telinga.

"Paling juga kamu mau dijodohkan sama Putara Sulungnya Kiai Dahlan," goda Mbak Zafira saat kita tengah berdua memplating sajian.

"Jangan dong, Mbak. Sekarang belum kepikiran buat nikah. Coass aja belum."

"Kan tetap bisa koas meski udah married, dek."

Aku setengah meringis mendengar ucapan Mbak Zafira. Akan kupanjangkan doa agar nikahnya nanti setelah rampung kuliah dan sama orang yang aku suka. Beberapa kali aku mengamini dalam hati doa yang barusan kupanjatkan sendiri.

KUFUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang