Hari demi hari berlalu dengan semestinya. Aku sudah benar-benar menyatu dengan kehidupan pesantren. Dengan rutinitas salat berjamaah, salat tahajud, atau pun dengan jadwal pengajian setiap ba’da subuh dan isya seperti saat ini. Aku juga sudah dinyatakan lulus setelah melalui dua tahap ujian dan beberapa kali proses revisi. Satu hal yang paling membuatku sangat bersyukur, Papa dan Mama akan hadir tepat di hari wisudaku.Hubunganku kembali membaik dengan keluarga setelah waktu itu kami sempat bersitegang karena ulahku. Bisnis Papa yang bergerak di bidang petrokimia mengharuskanku berkuliah di teknik kimia, sayangnya aku justru memilih kimia murni waktu itu, itupun karena terpaksa. Barangkali itulah yang menjadi awal kekecewaan papa padaku.
Tak berhenti di situ, kesulitan demi kesulitan kulalui selama menempuh kuliah. Pasti tau rasanya dipaksa mendalami sesuatu yang bukan passion kita. Susah. Hingga akhirnya banyak sekali mata kuliah yang harus kutempuh dua kali karena mendapatkan nilai di bawah rata-rata. Lagi-lagi mereka kecewa
Pikiran yang kacau karena tak ada dukungan sama sekali dari keluarga membuatku menjual fasilitas mobil dari papa sebagai bentuk pelampiasan. Selama 3 tahun sengaja cuti kuliah untuk merintis membangun usaha properti. Sampai akhirnya di tahun ketiga mampu memiliki 5 unit apartemen juga membeli mobil meski tak semahal mobil yang pernah kujual.
Maura hadir di kehidupanku sebagai obat dari kekecewaan Papa. Bagaimana tidak, Ayah Maura adalah relasi bisnis Papa yang cukup berpengaruh di perusahaannya. Atas persetujuan kedua orang tua, setelah berpacaran selama satu bulan kami resmi bertunangan.
Awalnya baik-baik saja, sampai akhirnya kedekatan Maura dengan keluargaku membuatnya berada di atas angin, hingga dia mengadu pada Papa kalau sebenarnya aku tidak kuliah.
Masalah baru muncul, hubunganku dengan keluarga sekaligus Maura juga mulai renggang. Bodohnya aku justru melampiaskan semuanya pada obat-obatan terlarang. Kegilaanku semakin menjadi setelah mengetahui dengan mata kepala Maura mengkhianatiku. Yang terakhir Papa mencabut semua fasilitas dan biaya bulananku sampai akhirnya aku harus menjual 3 unit apartemen untuk menyambung hidup dan memenuhi kebutuhan zat adiktif.
Begitulah kira-kira kisah singkat hingga akhirnya jatuh pada lembah hitam itu.
Tidak terasa 1 jam berlalu, pengajian pun telah diakhiri oleh Gus Rafif. Aku berniat kembali ke kamar untuk segera beristirahat. Akhir-akhir ini kepala selalu teras pening. Namun, saat baru saja bangkit, lambaian tangan Gus Rafif di depan sana membuatku urung pulang. Aku mendekatinya.
“Iya, Gus. Ada apa?”
“Setelah ini saya tunggu kamu di ndalem,” ucapnya sambil bangkit dari duduknya.
“Saya sendiri, Gus?”
“Iya, sendiri,” jawabnya sambil berlalu.
Mungkin karena usia kita yang tidak terlalu jauh, dan sikapnya yang ramah membuatku cukup akrab dengannya. Ditambah lagi saat ini aku sering diajaknya menangani berbagai macam kegiatan kepesantrenan. Namun, nilai-nilai kesopanan tetap kujaga karena sedekat apa pun, Gus Rafif adalah guruku yang tetap harus dijunjung kehormatannya.
Jadi kuputuskan untuk langsung pergi ke ndalem setelah sebelumnya pergi ke kamar untuk meletakkan kitab yang kubawa.
Sesampainya di halaman ndalem. Gus Rafif sudah duduk di pendopo kecil yang dipenuhi oleh berbagai macam tanaman di sekelilingnya.
Aku datang menghampiri.
“Assalamaualaikum.”
“Waalaikum salam. Duduk dulu,” pintanya saat melihat keberadaanku yang tengah berdiri di depan pendopo. Dia mempersilakanku duduk, tapi Gus Rafif justru bangkit berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
KUFU
RomanceJika pertemuanku dengannya adalah ketidak-sengajaan yang telah direncanakan Tuhan. Maka aku yakin, segalanya memiliki makna, meski kurasa semua ini terlalu menyakitkan. Layaknya selembar daun yang gugur, tentu Allah telah mengatur kapan dan di mana...