Tak peduli sengatan terik matahari, aku menyusuri jalanan menaiki ojek online agar bisa sampai lebih cepat. Beruntung, karena aku memang sedang di luar kampus, tak sampai 10 menit akhirnya tiba di tempat Bintang.Terlihat dua orang lelaki sedang mengobrol di halaman yang tak seberapa luas itu. Meski Bintang pernah memberitahu jika rumah kostnya cukup bebas, siapa saja bisa bertamu, tapi aku sedikit ragu untuk masuk begitu saja. Aku masih berdiri di depan pintu gerbang yang hanya terbuka separuh. Mungkin karena aku tidak terbiasa masuk ke tempat orang, apalagi ini adalah tempat kost cowok.
“Permisi, Mas. Saya mau ketemu Mas Ziyad.”
Sapaanku membuat keduanya menoleh. Sengaja yang kutanyakan nama Ziyad karena sepertinya di tempat ini Bintang lebih dikenal dengan nama panggilan Ziyad.
“Monggo, Mbak. Disamperin saja ke kamarnya.”
“Iya, Mas. Makasih,” jawabku dan berlalu melewati mereka.
Aku terus berjalan melewati beberapa kamar hingga tiba di depan kamar paling ujung bertuliskan No.23 di bagian atas pintunya.
Lampu kamar tampak menyala. Sepatu yang biasa Bintang gunakan tergeletak di bagian luar kamar. Juga kulihat sepasang sepatu sneakers berwarna putih yang kutebak itu terlalu kecil untuk ukuran seorang pria. Namun, aku tak hirau sepatu itu milik siapa. Yang memenuhi otak saat ini adalah keadaan Bintang. Aku takut terjadi sesuatu lagi pada Bintang.
“Mas Ta!”
Segera aku mengetuk pintu dan memanggil namanya.
Tak ada jawaban.
Sedetik.
Dua detik.
"Mas!"
Belum juga ada jawaban.
“Mas, kamu di dalam, nggak?”
Pintu aku ketuk kembali. Sayangnya masih tidak ada respons dari dalam. Aku mencoba mencari tahu keadaan di dalam dari balik jendela yang tertutup tirai. Tapi hasilnya sia-sia.
Karena terlalu khawatir terjadi apa-apa dengan Bintang, akhirnya dengan begitu saja tanganku memutar kenop pintu, hingga perlahan bisa kulihat dengan jelas dua orang yang tengah berdiri di hadapanku itu.
Bintang dan Maura.
Aku terperanjat. Bintang pun begitu.
Sesaat, aku tertegun.
Seperti ada yang teremas pelan di dalam dada.
Mulut sungguh tak mampu lagi menjelaskan apa yang kini sedang mereka pertontonkan.
Bintang seketika menoleh. Kami saling menatap dalam hampa. Inikah tujuan Bintang memintaku datang ke sini?
Entah seberapa banyak tanya yang memenuhi kepala. Sudah tak sanggup lagi menguraikannya satu persatu.
Aku bahkan merasa menjadi wanita paling tidak beruntung yang dengan suka rela menyaksikan adegan sialan ini. Ingin sekali mengutuk kebekuan, lalu melempari Bintang dengan segudang pertanyaan tentang segalanya.
Tapi untuk apa?
Pandanganku memburam. Mata memanas. Sekuat apa pun mengelak, nyatanya aku tetap tidak bisa memungkiri rasa kecewa ini.
Sempat kulihat Bintang seperti berusaha menjauhkan diri dari Maura. Namun, aku tak peduli lagi.
Aku tertunduk, lalu ....
“Maaf ganggu.”
Tanpa pikir panjang aku segera meninggalkan kamar Bintang dengan perasaan kacau.
KAMU SEDANG MEMBACA
KUFU
RomanceJika pertemuanku dengannya adalah ketidak-sengajaan yang telah direncanakan Tuhan. Maka aku yakin, segalanya memiliki makna, meski kurasa semua ini terlalu menyakitkan. Layaknya selembar daun yang gugur, tentu Allah telah mengatur kapan dan di mana...