Ammar mengamati gelang kupu-kupu yang ia temukan tadi. Melihat ini membuat Ammar teringat sahabat kecilnya dulu. Seseorang yang menemaninya kala Ammar membutuhkan sandaran dan kawan.
Namun sayangnya Ammar lupa siapa namanya, yang Ammar ingat hanya gelang kupu-kupu yang selalu dipakainya di tangan kiri.
"Siapa namamu dan dimana kamu sekarang, aku pasti akan menemukanmu," ucap Ammar lalu menyimpan gelang itu ke dalam laci lemarinya.
***
Diba mengobrak-abrik isi lemarinya. Ia juga membuka laci-lacinya. Ia mencari sebuah barang yang sepertinya sangat penting.
"Dib nyari apa?" tanya Tari. Ia mendekati Diba dan menatapnya penuh tanda tanya.
"Gelang, tau nggak? Itu gelang berhargaku pemberian dari Ayah," kata Diba.
"Nggak tau tuh, kaya gimana gelangnya? Mungkin aku bisa bantu," ucap Tari sambil mengelus punggung Diba.
"Gelang yang ada hiasan kupu-kupu."
***
Sudah lebih satu semester Tari mondok disini. Banyak kegiatan yang sudah ia lalui. Banyak pula teman yang ia dapatkan juga pembelajaran baru yang berharga.
Terutama masak-memasak, karena terbiasa membantu memasak kini Tari sudah lumayan lihai. Meskipun baru bisa membuat sayur lodeh dan orek tempe.
Percakapan dengan Diba kemarin masih terngiang di telinga Tari. Sebuah gelang kupu-kupu, kaya pernah ketemu apa cuma halusinasi aja.
Berhubung hari ini Jum'at, sekolah libur. Jadi, Tari dapat beristirahat setelah membersihkan asrama.
Seperti biasa, Tari duduk dibawah pohon rambutan kesayangannya. Lagi-lagi ia ditemani tortilla dan susu kotak rasa strawberry.
Tari menyedot susu kotaknya sambil menatap langit yang dihiasi awan putih yang cantik.
"Abi sama Umi lagi ngapain ya? Jangan sampai mereka buat adek baru," kata Tari lalu mengambil tortilla dari dalam bungkusnya.
Entah kenapa, tiba-tiba Tari kepikiran dengan kedua orang tuanya. Semoga mereka baik-baik saja.
"Tari!" panggil Ammar dari samping Tari.
Tari menoleh, "ada apa?" tanyanya langsung.
Ammar mengambil sesuatu dari saku bajunya. Itu sebuah gelang, "Tar aku mau balikin gelangmu, kemarin jatuh disini."
Tari mengambil gelang itu dari tangan Ammar, "makasih, tapi ini bukan punyaku, punyanya Diba."
Ammar tersentak. Diba?
"Maaf tadi kamu bilang Diba?" tanya Ammar.
Tari mengangguk, "iya lalu?"
"Kamu boleh ceritain gimana Diba?"
"Emang kamu siapanya Diba? Calon suami?"
"Dia sahabat kecilku dulu, aku berpisah dengannya karena harus ikut Ayah ke Jakarta untuk urusan bisnisnya. Aku sudah mencarinya di tempat tinggal yang dulu, tapi nggak ada," cerita Ammar.
"Maaf jadinya malah curhat," lirih Ammar.
"Nggak papa, kalau kamu mau ketemu Diba tunggu aja disini. Aku ke kamar dulu buat panggil Diba," ucap Tari lalu pergi.
***
"Dib ingat aku nggak?" tanya Ammar saat Diba baru datang.
Diba mengernyit, santriwan ini siapa? Aneh.
"Siapa?"
"Ammar, kamu lupa? Kita dulu sering main di sawahnya nenekku, ingat kan?"
Diba tampak berpikir, lalu ia tersenyum manis.
"Ammar? Serius, kapan kamu balik kesini? Pergi kok lama banget," gerutu Diba.
"Maaf," lirih Ammar.
Meski sudah hampir sepuluh tahun mereka berpisah, senyuman Diba tak ada yang berubah. Tetap manis, dan senyuman itu yang selalu Ammar rindukan.
Mereka berdua duduk di bangku bawah pohon sambil berbincang. Anggap saja itu temu kangen.
Tari yang melihat mereka dari balik tembok hanya bisa menggerutu, "terusin aja uwu-uwu nya, hooh terusin," sungut Tari lalu kembali ke kamarnya.
Ditengah jalan ia tak sengaja menginjak sebuah paku. Paku itu tertancap di sandalnya.
"Aww ... sakit, apa sih ini? Asal nemplok aja," ujar Tari kemudian melepas sandalnya.
Ia mendapati sebuah paku tertancap disitu. "Astagfirullah, paku!!!"
Tari berjalan terpincang-pincang, ia mendekati teras asrama lalu duduk.
"Huwaa ... Umi ... kaki Tari kena paku! Kalau tetanus gimana? Kalau dioperasi gimana? Kalau disuntik gimana? Huuu ..." racau Tari sambil mengamati kakinya.
Padahal kakinya baik-baik saja yang perlu dikhawatirkan hanya sandalnya. "Siapa sih naruh paku ditengah jalan? Kalau ada yang celaka gimana? Ceroboh banget."
"Ini juga, aku tau kamu tuh sandal murah tapi setidaknya lindungi aku dari paku, masih untung aku mau beli kamu," omel Tari pada sandalnya yang tidak berdosa.
"Sandal nggak ada dosa kok dimarahin," sindir Apta, entah sejak kapan ia datang.
"Eh mas Santri, assalamu'alaikum Mas," sapa Tari.
Moodnya naik seratus persen dengan datangnya Apta. Ia melupakan sandalnya dan membuangnya ke tempat sampah.
"Wa'alaikumsalam," balas Apta.
Apta mengambil sesuatu dari kantong plastik yang dibawanya. "Nih ada susu, jangan marah-marah mulu sama sandal."
Sebuah senyuman tercetak jelas di muka Tari. Ternyata paku membawa berkah untuknya. Terima kasih paku!
Tari menerima susu kotak pemberian Apta, "makasih Mas," ucap Tari lalu mendongak.
Tetapi Apta sudah tidak ada dihadapannya. Cepat banget ngilangnya. Tari menoleh ke kanan, ternyata Apta sudah berjalan sekitar lima belas meter darinya.
"Untung ganteng, untung calon suami."
***
Apta meletakkan belanjaannya di kasur. Ia mengeluarkan barang-barangnya lalu menatanya. Banyak sekali barang ia beli kali ini.
Salah satunya, dua susu kotak. Entah kenapa, saat Apta melihat deretan susu kotak ia tertarik. Akhirnya ia pun membelinya. Mumpung masih punya uang.
Tak lama kemudian, Kahfi dan Barra masuk ke kamar. Mereka langsung berbaring di kasur.
Kahfi menatap Apta heran. Tak biasanya Apta membeli susu kotak dan keripik kentang.
"Ta tumben banget beli jajan," ucap Kahfi.
"Pengen," sahut Apta singkat.
Kahfi menghela napas pelan, Apta tetaplah Apta. Lelaki yang irit berbicara dan menjawab seadanya.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Zahra dan Ali [ 𝐄𝐍𝐃 ]
Teen Fiction•• 𝑪𝒂𝒏𝒅𝒂 𝒕𝒂𝒘𝒂 𝒑𝒆𝒔𝒂𝒏𝒕𝒓𝒆𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒆𝒓𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓 𝒃𝒂𝒉𝒂𝒈𝒊𝒂 •• 𝔟𝔶: 𝔉𝔞𝔫𝔦𝔩𝔞𝔟𝔩𝔲𝔢 _______ Batari Indira Adistia, gadis remaja yang merupakan penggila tortilla dan susu strawberry. Kisah hidupnya sangat dramatis dan pen...