16. Cemburu?

149 15 0
                                    

Matahari mulai menampakkan wujudnya di ufuk timur. Diba yang baru selesai mandi langsung masuk ke kamar tanpa menyapa Tari dan Milla seperti biasanya.

Hari ini tepat satu minggu setelah Diba merasa diabaikan oleh kedua temannya. Bahkan baik Milla ataupun Tari tidak ada yang mendekati Diba.

Karena itu Diba semakin merasa diabaikan dan tidak diperlukan. Bahkan sekarang, mereka bertiga jarang terlihat bersama.

Diba lebih banyak menghabiskan waktu di kamar sambil membaca buku. Sedang Tari dan Milla, mereka sering keluar berdua. Intinya apa-apa selalu berdua.

"Dib ayo berangkat!" ajak Tari. Di punggungnya terdapat sebuah tas warna hitam yang berisikan buku-buku pelajaran hari ini.

"Ayo Dib, kita berangkat barengan. Hari ini jadwal piket kita loh," ujar Milla mengingatkan. Senyumnya mengembang sambil menatap Diba.

Tanpa menjawab sepatah kata pun, Diba melengos begitu saja melewati Tari dan Milla.

"Diba kenapa? Marah?" tanya Tari.

Milla mengangkat kedua bahunya seraya menatap Diba pergi begitu saja.

Saat di kelas, suasana juga masih sama. Diba sama sekali tidak bersuara. Sedangkan Tari dan Milla sedikit merasa gelisah.

Mereka tau Diba pendiam, tapi sediam-diamnya Diba pasti menyahut jika disapa. Jangankan menyahut, Diba sama sekali tidak menoleh kearah Tari dan Milla.

Diba malah asyik berbincang bersama Ammar.

Apta yang duduk disebelah Tari seolah mengerti apa yang sedang dipikirkan gadis itu. Namun, Apta tidak menanyakannya.

Bukan malu ataupun males, Apta hanya tidak mau menurunkan sedikit gengsinya.

"Ta ngapain liatin si Tari?" tanya Kahfi seraya menyenggol lengan Apta.

Apta langsung tersadar dari lamunannya. Ternyata sedari tadi ia menatap gadis itu. Kalau Tari tau, bisa besar kepala anak itu.

"Nggak kok, aku cuma liat tembok," elak Apta.

Mendengar jawaban absurd Apta membuat Kahfi tertawa. Tawa yang mengundang perhatian seluruh siswa. Termasuk Tari dan Milla.

"Duh jangan ketawa dong, jadi lemes kan akunya," ucap Milla spontan. Dari awal ia sudah mengagumi Kahfi. Baik sikapnya maupun visualnya Milla mengaguminya.

"Ey Tar, si Apta tuh gengsinya gede banget, liatin kamu aja pake ngelak liatin tembok," ucap Kahfi sambil memukul meja pelan.

Tari tersenyum hingga memunculkan kedua lesung pipinya. Ia menatap Apta sambil mengerling, "nggak usah gengsi Mas," ucap Tari.

"Hmm."

"Yee malah hmm doang, dikira aku paham apa," gumam Tari.

Tari berjalan mendekati Apta lalu membisikkan sesuatu di telinganya.

"Tunggu aja ya Mas, suatu saat kamu akan menjabat tangan Abiku dan menyebut namaku lantas akan terucap kata 'sah' dari para undangan. Lalu kita akan duduk berdampingan di kursi pelaminan seraya tersenyum kesemua orang yang datang. Tunggu aja saat itu datang."

***

Sudah tiga hari Diba tidak berkomunikasi apapun dengan Tari dan Milla. Membuat kedua gadis itu kelimpungan sendiri.

Mau bertanya takutnya Diba malah semakin marah. Kalau diam saja, Diba juga makin marah. Jadi, harus gimana?

Sore ini dengan keyakinan penuh dan optimis yang kuat, Tari mendekati Diba yang sedang membaca buku dibawah pohon rambutan.

Tentu saja Tari membawa sesuatu. Ia membawa sebatang coklat sebagai bentuk permintaan maafnya. Dengan dada yang deg-degan Tari mendekati Diba.

"Assalamu'alaikum Dib," sapa Tari. Ia memberanikan tersenyum, tapi Diba tetap menatapnya tajam.

"Wa'alaikumsalam, ada apa?" ketus Diba. Dari nada bicaranya ia terlihat tidak suka dengan kehadiran Tari.

Meski begitu, tak membuat niat Tari luntur. Tekadnya sudah bulat. Ia ingin mengetahui apa penyebab Diba mendiamkannya selama ini.

"Dib aku ngerasa akhir-akhir ini kamu nggak welcome dengan aku juga Milla. Entah perasaanku aja atau bukan, tapi yang pasti aku mau tau kenapa kamu berubah? Nggak kaya Adiba yang aku kenal dulu," papar Tari. Ia menceritakan semua yang ia rasakan.

"Aku berubah karena kalian juga," sahut Diba.

Tari yang tidak mengerti arah pembicaraan Diba mengerutkan dahinya bingung. Karena Tari?

"Maksud kamu?"

"Ah, sudahlah. Sepertinya tanpa aku kalian sudah bahagia," kata Diba lalu pergi meninggalkan Tari yang masih menatapnya dengan sendu.

***

"Ta bentar lagi kita kan udah kelas dua belas, kamu tetep lanjut di Darul 'Ilmi atau pindah?" tanya Barra sambil mencomot jelly kesukaannya.

"Nggak tau Bar, mungkin tetap disini," jawab Apta.

"Eyyow ... Kahfi kembali! Kalian rindu aku nggak?" Kahfi mendobrak pintu kamarnya lalu tersenyum kearah Apta dan Barra yang menatapnya tajam.

Bukannya takut, Kahfi malah langsung masuk dan menaruh barang yang ia bawa di kasur.

Makin kesini, sifat asli Kahfi mulai muncul. Jika kalian berpikiran Kahfi laki-laki kalem, kalian sangat salah!

Kahfi itu laki-laki aneh yang agak konyol tapi tercover oleh wajah tampannya.

***

"Diba kenapa? Aku ada salah?"

Otak Tari berputar mengingat memori beberapa hari yang lalu. Ia teringat, sejak ia dan Milla menyadari bahwa mereka bersahabat sejak dulu. Diba perlahan mulai menjauh.

"Jadi Diba cemburu?!"





To be continued


Bukan Zahra dan Ali [ 𝐄𝐍𝐃 ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang