Beberapa minggu kemudian ...
Pagi-pagi sekali Tari sudah memasukkan beberapa pasang pakaiannya ke dalam ransel, juga berbagai macam makanan ringan. Hari ini adalah hari keberangkatannya ke Pondok dan mengawali harinya sebagai siswa kelas dua belas. Waktu berjalan begitu cepat dan tak terasa kini ia sudah siswi tingkat akhir.
Ada rasa bahagia dalam hatinya tapi rasa khawatir dan ketakutan juga ada. Kekhawatiran akan study lanjutannya serta ketakutan akan kehilangan sahabat dan berpisah dengan pondok tercinta.
Saat ia sedang sibuk menyiapkan berbagai pakaiannya, seseorang membuka pintu kamarnya dan langsung memeluk lehernya erat seakan mau mencekiknya hingga kehabisan nafas. Tanpa pikir panjang, Tari menggigit lengan yang mencekik lehernya. Lalu memegangnya erat dan memelintirnya.
"Hayo siapa berani masuk kamarku!"
"Eh kakak ..." Tari langsung melepas cengkraman tangannya di lengan orang yang ia panggil 'kakak'.
"Adek! Sakit lo, masa kakaknya datang nggak disambut malah digigit. Di pondok kamu belajar jadi harimau ya?"
"Kak Tara ... maaf Tari enggak tau kirain perampok," jawab Tari jujur.
Tara lalu mengambil ponselnya dari saku dan berselfie sekali kemudian menunjukkannya pada Tari, "lihat masa ganteng kaya gini disamain perampok, enak aja! Kakak nggak terima, sebagai hukumannya kamu harus ikutin mau kakak selama satu minggu!"
"Hahahaha," tawa Tari langsung menggelegar di kamarnya. Membuat Tara sedikit merinding, takut yang berbicara dengannya ini bukan adiknya.
"Kak Tara aku udah mau balik ke Pondok, bebas deh dari hukuman kakak," tawa Tari kembali tersembur, melihat ekspresi muka Tara membuatnya ingin selalu tertawa.
"Lah cepet banget, kakak baru aja pulang masa kamu udah balik pondok. Tari ngga asyik ih," rajuk Tara. Rasa kecewa sedikit terbesit dihatinya. Seharusnya ia pulang lebih awal jadi memiliki banyak waktu bersama adik satu-satunya. Tidak seperti ini keinginannya!
Tari memeluk Tara erat lalu sedikit berjinjit dan membisikkan sesuatu di telinga Tara, "Tari balik pondok, pulangnya bawa calon suami, hehehe."
Tara sedikit merendah kemudian ikut membisikkan kata-kata di telinga Tari, "emang ada yang mau sama kamu?"
Sebuah pukulan melayang di lengan Tara, siapa lagi pelakunya kalau bukan Tari. Pukulannya terasa sangat menyakitkan dan sedikit panas. Tenaga Tari ternyata tidak dapat diragukan lagi.
"Dek ... sakit lo. Mondok bukannya makin kalem ternyata sama aja," cibir Tara. Sebuah cubitan mendarat dengan sempurna di pinggang Tara, membuatnya memekik kesakitan.
"Tuh kan tangannya nggak bisa diem. Umi ... Tari nakal!" teriak Tara dengan maksud mengadukan kekesalannya pada Umi.
"Dih nggak malu sama umur. Udah tua ngaduan pula. Pantes belum dapat jodoh," nyinyir Tari. Mulutnya itu sangat mudah untuk julid, nyinyir, apalagi ghibah. Tambah mulus lagi kalau nyinyir nya nggak sendirian.
Mata Tara melotot, seakan hendak meloncat keluar dari tempatnya.
"Apa hubungannya dek?" tanya Tara frustasi. Frustasi dengan semua perlakuan Tari barusan. Frustasi juga karena sang adik sebentar lagi akan kembali ke Pondok. Campur semua.
"Ada lah. Kakak kan bukan ahli cocokologi, jadi nggak bisa. Udah ihh keluar sana! Apa mau bantuin Tari beres-beres?" tawar Tari.
"Keluar saja lah. Bye bye ... adek."
🕌
"Apta nanti kenalin ke Bunda ya," ujar Bunda sambil membantu putranya memasukkan beberapa barangnya ke bagasi mobil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Zahra dan Ali [ 𝐄𝐍𝐃 ]
أدب المراهقين•• 𝑪𝒂𝒏𝒅𝒂 𝒕𝒂𝒘𝒂 𝒑𝒆𝒔𝒂𝒏𝒕𝒓𝒆𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒆𝒓𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓 𝒃𝒂𝒉𝒂𝒈𝒊𝒂 •• 𝔟𝔶: 𝔉𝔞𝔫𝔦𝔩𝔞𝔟𝔩𝔲𝔢 _______ Batari Indira Adistia, gadis remaja yang merupakan penggila tortilla dan susu strawberry. Kisah hidupnya sangat dramatis dan pen...