22. Detik-Detik

135 16 0
                                    

Tak terasa waktu sangat cepat, kini Tari sudah memasuki semester dua di kelas dua belasnya. Itu berarti sebentar lagi ia akan disibukkan dengan les tambahan, buku bertumpuk, ujian, ujian, dan ujian. Selama itu pula Apta sering memberinya note yang sebagian besar permintaan supaya Tari menunggunya. Bukannya bosan karena mendapat surat yang isinya hampir sama tapi Tari malah berbunga-bunga. Memang pemikiran orang biasa dan orang yang jatuh cinta itu berbeda.

Seperti siang ini, selepas makan siang, Tari beserta kedua teman warasnya. Mereka harus kembali ke kelas dan meninggalkan jadwal mengajar anak-anak. Jadwal les tambahan hari ini adalah matematika. Tari hanya pasrah dan berdoa supaya otaknya selalu dalam keadaan sehat wal afiyat tidak kurang satu apapun.

Tari membuka bukunya dengan malas. Dari matanya sudah terlihat tidak memiliki semangat sedikitpun. Matematika adalah musuhnya sejak sekolah dasar. Berbeda terbalik dengan mata pelajaran ekonomi, yang kadang juga melibatkan perhitungan, Tari lebih memilih ekonomi.

Penjelasan dari guru les pun tidak Tari perhatikan dengan sungguh-sungguh. Malahan ia sesekali menguap dan menggeletakkan kepalanya di meja dengan kedua tangannya sebagai bantal. Meski tempat duduknya berada dalam jangkauan guru, Tari tidak mempermasalahkan hal itu.

Diba yang sebangku dengannya mencoba membangunkan Tari dengan menyikut lengan Tari dan berbisik supaya Tari mau bangun. Karena sang guru mengetahui hal itu dan mendatangi meja Tari.

"Tari tidur?" tanya guru lelaki itu. Dilihat dari penampilannya beliau ini belum terlalu tua. Ia tersenyum lalu berbalik badan dan mengambil sebuah kapur dari mejanya.

"Batari bangun, Tari ..." ujar sang guru seraya mencoret-coret jilbab Tari dengan kapur. Dasarnya Tari, kalau sudah tidur susah dibangunkan. Padahal sang guru sudah berkali-kali memanggil namanya, berkali-kali pula mencoreti jilbabnya yang kini sebagian sudah bermotif.

"Biarkan saja. Nanti juga bangun sendiri. Mari kita melanjutkan materinya," ucap guru dengan tenangnya. Dari sorot matanya tidak ada keraguan ataupun kemarahan. Guru pengajar matematika ini memang dikenal dengan sikap sabarnya yang kebangetan.

Kejadian itu tadi tidak terlepas dari pandangan Apta. Batinnya berkata, "dasar tukang tidur" lalu tersenyum tipis. Ia pun kembali melanjutkan kegiatan belajarnya.

Ketika sang pengajar mengucapkan salam sebagai penutup pembelian, Tari dengan tampang tidak berdosanya membuka matanya perlahan. Menyesuaikan matanya dengan sinar mentari yang menembus jendela kelas.

Tari beralih menatap Diba seraya mengucek matanya, "Diba ... pak gurunya kemana?"

Diba melirik Tari sebentar lalu merapikan bukunya dan memasukkannya ke tas, "kamu mau pulang atau tidur disini?"

Tari terdiam dengan mulut menganga, dia tertidur sepanjang pelajaran dan tidak ada satu pun manusia yang mau membangunkannya. Habis riwayatmu! Bagaimana kalau ia mendapat image buruk di mata para guru nantinya?

"Malah bengong, yaudah aku duluan," pamit Diba seraya menggendong tasnya di punggung.

Di kelas hanya tersisa lima orang, dua diantaranya Tari dan Apta. Apta tersenyum geli melihat wajah bengong Tari. Ia pun mendatanginya dan mengajaknya pulang sebelum pintunya dikunci.

"Tar nggak mau pulang?" tanya Apta lembut tapi mengejutkan Tari.

"Iya ini mau pulang kok, kamu duluan aja," balas Tari seraya tersenyum ragu.

"Assalamu'alaikum," salam Apta kemudian pergi dan meninggalkan sebuah note lagi.

"Wa'alaikumsalam," jawab Tari.

Ia segera merapikan barangnya dan memasukkannya ke tas. Saat ia akan pergi telapak tangannya tak sengaja menyentuh sebuah benda di mejanya. Sebuah note dengan inisial R.A.G yang ditulis cantik. Sudut mulutnya muncul dan wajahnya memerah bak seafood rebus. Tak lupa ia menyimpan note itu di saku seragamnya.

🕌

Belajar dan belajar kini menjadi rutinitas Tari sejak seminggu belakangan ini. Keinginannya untuk belajar meningkat tajam seusai kejadian memalukan beberapa hari yang lalu. Dimana ia tertidur sepanjang les berlangsung. Sejak itu pula Tari tidak pernah tidur di kelas. Meskipun rasa kantuk terus menyenangkan, Tari terus berusaha supaya tidak terpejam.

"Hufftt ... selesai juga," desis Tari kemudian menutup bukunya dan meletakkannya kembali ke dalam tas. Ia melirik jam dinding dan sudah pukul setengah dua belas. Ia pun segera berbaring dan menyelimuti tubuhnya lalu memejamkan mata dan berdoa.

Seharusnya dari dua jam yang lalu Tari tidur tapi beberapa tugas memintanya untuk menunda waktu tidurnya. Karena terlalu lelap dalam tugasnya ia jadi tidak memperhatikan waktu yang semakin malam. Hingga akhirnya tugas itu selesai beberapa menit yang lalu. Sekarang ia sudah tertidur dan harus bangun besok pukul tiga.

Di kasur seberang Tari, Diba terbangun tiba-tiba. Ia menengok jam dan masih pukul dua belas. Ia menatap kasur sebelahnya yang ternyata penggunanya sudah terlelap dengan suara dengkuran yang halus. Diba hanya tersenyum lalu kembali berbaring. Padahal tadi Ia mau menemani Tari kalau seandainya ia belum tidur.

"Woiii bangun udah jam tiga!" teriak Milla sembari mengguncang tubuh Tari dan Diba. Entah ia sudah berteriak berapa kali, tapi kedua sahabatnya itu tak kunjung membuka matanya. Dengan sabar Milla terus membangunkan mereka. Hingga salah satu dari keduanya membuka mata dan menggumam.

"Emmmm ... udah jam berapa?" tanya Diba dengan suaranya yang lirih.

"Jam tiga. Ayo bangun! Ayo ke masjid mukena nya udah aku siapin tinggal wudhu. Astagfirullah ... Tari belum bangun juga!" pekik Milla lalu kembali mengguncang tubuh Tari seraya meneriaki namanya.

"Iya Milla ini udah melek kok," sahut Tari lirih. Kedua matanya masih terpejam dan jilbabnya acak-acakan. Milla memberi jilbab instan pada Tari dan menyuruhnya untuk dipakai.

"Makasih," lirih Tari yang kini matanya sudah terbuka sedikit. Penampilannya juga sudah sedikit rapi. Lebih baik dari sebelumnya.

Ketiganya lalu turun untuk berwudhu. Perlahan tapi pasti akhirnya kesadaran Tari terkumpul sepenuhnya dan ia merasa lebih segar ketika air wudhu menyapa kulit lembutnya. Dingin tapi menyegarkan. Setelah selesai berwudhu mereka bertiga berjalan beriringan menuju masjid dengan mukena yang tersampir di tangan masing-masing.

🕌

Menikmati semilir angin sambil bersantai di rerumputan hijau sangat lah menenangkan. Apalagi ditemani berbagai jajanan. Benar-benar perpaduan yang sempurna untuk menyegarkan otak setelah kegiatan belajar yang cukup menguras pikiran dan tenaga.

"Kalian setelah lulus mau kemana?" tanya Tari sambil menatap kedua sahabatnya bergantian.

"In Syaa Allah aku mau kuliah," jawab Diba seraya menyedot es tehnya.

"Aku In Syaa Allah juga mau kuliah, kamu sendiri gimana?" balas Milla sembari menyodorkan makaroninya pada Tari.

"Aku juga sama kayak kalian. Kalian kuliahnya didalam kota kan?" tanya Tari yang dibalas anggukan kedua sahabatnya.

"Alhamdulillah deh."

Bel masuk memberhentikan pembicaraan mereka. Setelah membuang sampah bekas makanan, mereka segera masuk ke kelas.

Tari disini banyak belajar hal berharga. Mulai dari terkecil hingga tak terhingga. Mulai dari urusan duniawiyah hingga kehidupan akhirat. Meski hanya sebentar, Pondok ini berhasil mengubah Tari menjadi pribadi yang In Syaa Allah baik luarnya baik juga dalamnya. Baik fisiknya baik pula hatinya.

Seberapa jauh ia pergi nantinya, Pondok Pesantren Darul 'Ilmi akan tetap mendapat tempat istimewa di hatinya. Karena disini lah ia menemukan sejatinya persahabatan dan kehidupan yang sederhana namun berkesan.



Bersambung 🫂


Bukan Zahra dan Ali [ 𝐄𝐍𝐃 ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang