"Anak-anak baru selesai makan. Papa mau makan juga?" Linda menanyai suaminya. Tidak ada suara lain yang terdengar. Ruang makan mendadak senyap begitu ayah Ava masuk.
Ava ingin menampar ayahnya, yang tidak menyapa dan bertanya kabar kepada istrinya. Kenapa ayahnya tidak pernah mau sadar ada wanita yang sangat mencintainya dan seharusnya dimuliakan? Bukan dianggap tidak ada atau diperlakukan seenaknya.
"Ayo kita ke kamar Mbak Ava, Sayang." Ava mengajak Adeline meninggalkan medan pertempuran.
Suasana makan malam yang tadinya hangat—dengan ceria Adeline menceritakan ketua kelas yang memberinya cokelat tadi siang—menjadi tegang saat ayah mereka masuk ke ruang makan. Siapa pun yang ada di dalam sana tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dari mana kedua orang itu mendapatkan bahan pertengkaran, padahal bertemu saja mereka jarang sekali? Ava benar-benar tidak habis pikir.
"Apa Mama sama Papa bertengkar lagi, Mbak? Kenapa Mama dan Papa suka bertengkar? Apa Papa dan Mama nggak saling menyayangi?" tanya Adeline saat berada di kamar Ava.
Pertanyaan Adeline membuat kebencian Ava terhadap ayahnya semakin memuncak hingga mencapai ubun-ubun. Bagaimana mungkin laki-laki itu menempatkan anak-anaknya dalam situasi yang tidak menyenangkan seperti ini? Seharusnya wajah Adeline lebih banyak dihiasi tawa, bukan kekhawatiran dan ketakutan.
Ava menarik adiknya ke pelukan. "Nggak usah dipikirkan, Sayang. Kadang-kadang memang suami istri itu bertengkar. Apa kamu ada PR hari ini?"
Kadang-kadang suami istri bertengkar. Ava ingin tertawa. Tentu saja Adeline tahu pertengkaran orangtua mereka bukan kadang-kadang lagi. Tetapi terjadi sepanjang tahun selama lebih dari sepuluh tahun. Ava hanya tidak tahu harus menjelaskan seperti apa kepada adiknya. Mengonfirmasi kecurigaan Adeline bahwa ayah mereka memang berengsek dan tidak berhak mendapatkan istri sebaik ibu mereka? Adeline anak yang cerdas, sedikit banyak tentu dia bisa menangkap dan menyimpulkan apa yang tengah terjadi di keluarga mereka. Pasti Adeline tahu seperti apa jahatnya ayah mereka.
"Mereka bertengkar karena apa sih, Mbak?" Adeline tidak menjawab pertanyaan Ava, justru melontarkan pertanyaan yang tidak diketahui Ava apa jawabannya.
"Karena Mbak Ava." Ava menjawab setelah sayup mendengar namanya disebut dalam teriakan ayahnya. Ini bukan kali pertama Adeline menanyakan penyebab orangtua mereka bertengkar. Dan Ava selalu berkelit, tidak ingin menjawab. Karena Ava takut ada pertanyaan lain yang mengikuti setelahnya dan Ava ragu apakah dia bisa menjawabnya.
"Memangnya Mbak habis ngapain?"
Ava memejamkan mata. Sudah cukup. Kalau selama ini Ava diam mendengar kedua orangtuanya ribut di dalam rumah ini—karena tidak ingin memperkeruh situasi—kali ini tidak akan lagi. Demi kesehatan mental adiknya—dan seluruh penghuni rumah—sebagai anak tertua, Ava harus melakukan sesuatu.
"Coba biar Mbak bicara sama Papa dulu. Kamu dengerin ini. Album Taylor Swift yang baru. Kamu bisa lihat video klipnya juga." Ava menyerahkan ponsel kepada Addie dan berjalan keluar kamar.
Di tengah tangga, Ava berhenti sebentar untuk memperhatikan foto-foto di dinding di sepanjang tangga menuju lantai satu. Foto pernikahan ayah dan ibu tirinya. Foto mereka berdua bersama Ava, foto Linda yang menggendong Arvin yang baru lahir, ulang tahun pertama Adeline, foto mereka berempat yang sedang berlibur di Disneyland dan di bawah menara Eiffel—saat itu Adeline belum lahir dan Arvin masih berusia dua tahun—dan banyak lagi kenangan indah lain terekam di banyak gambar. Dari jajaran foto-foto tersebut, orang akan menilai mereka adalah keluarga yang normal dan harmonis. Yang saling menyayangi. Ayah Ava berada di rumah dan banyak menghabiskan waktu bersama keluarga.
Ke mana perginya semua itu? Kapan segalanya mulai berubah? Kenapa ayahnya berubah, menjadi seseorang yang sama sekali tidak bisa dikenalo? Ava menarik napas panjang dan menyiapkan mentalnya sebelum masuk ruang makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Sepatu Untuk Ava
RomanceDari penulis The Dance of Love dan Right Time To Fall In Love: Pemenang Penghargaan The Wattys 2021 kategori Romance *** "Sepatu yang kuberikan tadi, aku tidak ingin kamu memakainya. Pakai kalau kamu sudah siap untuk melangkah ke dalam hidupku. Siap...