TIGA PULUH ENAM

12.3K 2.2K 186
                                    

Halo, Semua. Hari Jumat waktunya baca lanjutan cerita Ava. Oh, ya, aku mau kasih tahu bahwa judul bukuku yang bisa dibaca gratis dan legal di aplikasi iPusnas bertambah. Jadi sekarang ada 7 judul! Fitur pencarian di iPusnas agak aneh sehingga nggak akan begitu saja bukunya muncul saat dicari. Tapi aku bikin panduannya di Instagram dan TikTok ikavihara. Silakan cek di foto yang kusematkan. Meski kamu baca gratis, tapi aku tetap dapat royalti dari bukuku yang kamu baca di sana. Jadi nggak sama dengan baca bajakan yah. Kalau kamu lihat antreannya banyak, masukkan dalam wishlist-mu alias mengantrelah, sebab kalau yang ingin baca banyak, nanti akan ditambah stoknya. Please, dukung aku supaya bisa terus menghadirkan cerita seru buatmu :-) Bab ekstra tersedia di karyakarsa ikavihara.

Love, Vihara(IG/TikTok/Karyakarsa ikavihara, WhatsApp 083155861228)

***

Ava menyandarkan kepala di lengan Manal. Sebelah tangan Manal melingkari bahu Ava. Setelah bertemu dengan ayahnya tadi, Ava meminta Manal untuk menyusulnya ke mal, dengan alasan Ava ingin menonton film berdua. Kepada teman-temannya, Ava meminta maaf karena tidak bisa bergabung jalan-jalan dengan mereka sesuai rencana semula. Sambil menggerutu panjang—karena Ava lebih mementingkan pacar ketimbang teman—mereka mengampuni Ava. Untuk kali ini saja. Sebab Ava sudah mentraktir mereka makan sampai kenyang. Mereka hanya mengolok Ava sambil bercanda sebentar kemudian meninggalkan Ava duduk di restoran Jepang menanti Manal.

"Ayo kita keluar dari sini." Manal berbisik di atas kepala Ava. "Aku nggak ngerti ini film apa. Nggak tertarik. Kamu melamun dari tadi. Nggak nonton filmnya juga."

Tadi saat Manal bertanya Ava ingin menonton film Apa, Manal tahu Ava hanya menunjuk asal saja judul yang tertera di layar. Film yang paling tidak menarik minat penonton. Di dalam ruangan teater sepi sekali. Hanya ada enam orang selain mereka berdua.

"Aku masih mau di sini." Yang diperlukan Ava sekarang hanya duduk diam di dalam gelap, bersama dengan seseorang yang paling dia inginkan ada di sisinya. Yang membuatnya merasa aman dan nyaman.

"Care to share?" Hanya mereka berdua yang duduk di baris paling atas. Asalkan bisa menahan suara sepelan mungkin, mereka bisa bercakap-cakap tanpa mengganggu penonton lain yang duduk di baris tengah.

"Apa kamu masih ... membenci Disha? Apa kamu bisa memaafkan Disha?"

Tiba-tiba Manal menyesal bertanya apakah Ava mau menceritakan masalahnya. Karena Ava membuka ceritanya dengan pertanyaan yang ... Manal tidak ingin menjawabnya. Manal keberatan membahas masa lalu saat sedang bersama masa depannya.

"Manal?" tegur Ava.

"Sakit hati, iya. Kalau membenci ... aku nggak ingin menghabiskan energiku untuk itu. Membenci Disha nggak akan mengubah pikirannya untuk kembali kepadaku. Nggak akan membuat jalan hidup kami berubah. Lagipula Disha juga nggak akan tahu aku membencinya. Hidupnya akan tetap baik-baik saja walaupun aku membencinya. Justru aku yang akan menderita kalau memelihara benci. Jadi, daripada aku membuang-buang tenaga untuk membencinya, lebih baik aku menggunakan tenagaku untuk mendapatkan cintamu. Apa ... kesedihanmu hari ini ada hubungannya dengan Harlan?"

"Aku nggak sedih." Tetapi Ava mengatakan ini sambil menghela napas berat.

"Ava, kamu bisa terbuka padaku. Aku nggak akan memberi pendapat kalau kamu nggak minta. Kalau yang kamu perlukan adalah telinga untuk mendengar, aku akan mendengarkan saja. Jadi, apa kamu mau cerita kamu sedih karena apa? Karena Harlan?"

"Ini nggak ada hubungannya sama Harlan. Aku sama sekali nggak dengar kabarnya. Dia sudah bahagia dengan istrinya. Menurutmu, kenapa Disha selingkuh?" Ava mengaitkan jemarinya pada jari-jari Manal yang besar, lalu menjauhkan kepalanya, untuk menyandar pada kursinya sendiri.

Sepasang Sepatu Untuk AvaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang