EMPAT PULUH

11.5K 2K 128
                                    

"Ulang tahun kok senang sih, Ma?" Nella tertawa melihat ibunya tersenyum lebar.

Hadiah dari Nella dan Julian adalah sebuah foto repro. Foto tersebut berasal dari zaman ayah dan ibu Manal pacaran dulu. Manis sekali saat membayangkan Dokter Hafidz duduk bersama calon istrinya di atas motor vespa berwarna hijau, seperti dalam foto itu. Juga Nella dan Julian mempersembahkan hadiah utama; kedua orangtua Manal akan menjadi kakek dan nenek untuk kedua kali.

"Mama bersyukur bisa sampai pada usia ini. Teman-teman Mama sudah ada yang meninggal. Banyak. Doakan Mama sehat, karena Mama ingin melihat Manal menikah. Juga Mama mau ketemu cucu-cucu Mama yang lain." Semua orang mengangguk setuju. "Nah, karena Mama sudah tua, berarti Manal dan Ava tidak bisa santai-santai lagi."

Ava menunduk. Semoga Manal tidak mendapat ide untuk melamarnya di sini. Mau bercanda atau serius, Ava sangat berharap Manal tidak memanfaatkan momen ini untuk melakukannya. Juga Ava tidak ingin memberi Ava lamaran kejutan. Jika mereka akan menikah, Ava ingin berdiskusi dengan Manal terlebih dahulu. Lalu mempertimbangkan pendapat kedua belah pihak dan memutuskan apa yang terbaik.

"Sudah, Ma. Jangan dipaksa-paksa. Biar Manal dan Ava sendiri yang menentukan bagaimana baiknya." Dokter Hafidz mengelus lengan istrinya. "Kita mulai makan saja ya? Apa ada tambahan pesanan? Malam ini tidak usah memikirkan kolesterol dulu."

"Ah, aku cuma makan bisa mie goreng," keluh Nella yang sedang hamil muda. Sejak tadi dia pusing sendiri memilih makanan, khawatir dengan merkuri.

"Seandainya kamu kasih tahu Mama kalau kamu hamil, Nella, Mama nggak akan memilih makan di sini." Ibu Manal menanggapi.

"Namanya juga mau kasih kejutan, Ma."

"Ya sudah, besok Mama bikinkan makanan kesukaanmu, sebagai gantinya." Kini ibu Manal mengalihkan perhatian kepada Ava. "Ava, kamu mau makan yang mana dulu?"

"Hmm ... kepiting." Ava selalu memesan kepiting saus padang setiap kali makan di sini. Kepiting super jumbo kali ini, karena Ava akan berbagi dengan Manal. Kalau bersama Linda, Adeline atau Arvin, Ava hanya bisa makan kepiting kecil. Sebab mereka bertiga tidak suka kepiting, jadi tidak bisa diajak berkongsi.

"Oh, ada yang kurang," cetus Nella tiba-tiba. "Mana hadiah Papa buat Mama?"

Ibu Manal mengerling kepada suaminya, yang tampak tidak kalah berseri malam ini. "Minggu depan kami akan naik kapal pesiar. Bulan madu lagi. Itu hadiah dari Papa kalian."

Ayah Manal meraih tangan istrinya dan mencium buku-buku jarinya. "Kami tidak sabar ingin berduaan, tanpa diganggu kalian semua."

Melihat kemesraan orangtua Manal, Ava menjadi percaya cinta abadi memang ada di dunia ini. Sampai usia lima puluh tujuh tahun, tatapan cinta dari mata ibu Manal kepada suaminya bukannya semakin meredup, tetapi semakin kuat memancar. Demikian juga sebaliknya. Ayah Manal jelas sekali memuja istrinya, selalu memandang istrinya seolah-olah hanya istrinyalah satu-satunya wanita yang terbaik di dunia. Siapa saja yang dibesarkan dalam keluarga ini, tentu menjalani masa kanak-kanak dan remajanya dengan bahagia dan aman. Karena tahu dan yakin kedua orangtua mereka saling mencintai.

"Ava?"

Uh oh! Ava tergeragap saat melihat ayahnya berdiri di belakang kursi Dokter Hafidz. Dengan, lagi-lagi, seorang wanita sangat muda mengaitkan tangan di lengannya. Demi Tuhan, Ava tidak mengharapkan ayahnya akan muncul di depan keluarga Manal. Tidak saat ini. Saat keluarga Manal sedang merayakan ulang tahun ibunda Manal.

"Ava...." Manal menyentuh lengan Ava karena Ava hanya mematung di kursi. Percakapan di meja terhenti sejenak.

Keringat dingin mengalir di tubuh Ava dan wajah Ava putih seperti kertas.

Sepasang Sepatu Untuk AvaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang