Selamat menunaikan ibadah puasa, Teman-teman. Ada obat untuk semangatmu taraweh nih, cerita Manal dan Ava :-) Terima kasih kamu sudah mengikuti sampai hari ini.
Jangan lupa baca-baca juga ceritaku yang lain. Oh, kemarin aku membalasi komentar-komentar dari kamu yang ingin baca bukuku--untuk mendukungku--tapi belum bisa membeli. Kamu bisa MEMINJAM di aplikasi Perpustakaan Nasional iPusnas. Caranya mudah, kamu tinggal download aplikasi iPusnas, nanti log in dengan akun media sosial atau e-mail. Lalu search Ika Vihara dan pinjamlah buku yang ingin kamu baca. Ketika kamu membaca karyaku di sana, aku tetap mendapatkan royalti atas buku tersebut. Pemerintah Negara Indonesia yang membayar :-)
Aku tunggu komentar darimu untuk cerita ini.
Love, Vihara(IG/FB/Karyakarsa/TikTok ikavihara, WhatsApp 083155861228)
***
Alasan Ava mau diajak makan siang karena Manal berjanji akan membicarakan masalah mereka.
"Orang-orang itu, yang kamu bilang penggemarku...." Manal tidak tahu apa yang mereka kagumi darinya. Selama ini Manal tidak merasa ada perbedaan mengenai cara kerjanya, atau cara berpakaiannya, dibandingkan Fasa dan yang lain. "Suatu saat mereka harus menerima kenyataan kalau aku manusia biasa. Aku perlu menikah. Aku akan jatuh cinta. Punya kekasih."
"Itu, kan, beda. Kamu akan menikah dengan orang yang nggak mereka kenal. Yang nggak setiap hari mereka temui di kantor. Seperti Disha itu. Sedangkan aku rekan kerjamu, rekan kerja mereka. Setiap hari aku berinteraksi dengan mereka. Mereka nggak akan pernah memaafkanku karena memonopoli idola mereka."
"Kamu terganggu sekali dengan tingkah mereka ya? Coba kalau mereka ngomong yang nggak menyenangkan, kamu senyum saja. Atau tertawa." Manal memberi saran. "Aku nggak akan bisa mengatur mereka akan bicara atau bersikap bagaimana. Bukan berarti karena aku meminta mereka untuk nggak mengganggumu, lalu mereka akan menurutiku."
"Manal!" Ava kesal sekali dengan atasannya yang terlalu santai ini. "Coba dulu dong, baru kita tahu hasilnya! Kamu belum minta mereka supaya berhenti menganggap kita pacaran, kok sudah bilang mereka nggak mau menuruti kamu! Kamu pikir masalah ini bakal selesai dengan satu senyuman?"
"Apa kamu benar-benar nggak mau memberiku kesempatan? Kamu tahu kan, aku bisa kapan saja pindah ke Zogo. Mereka benar-benar menginginkanku. Kalau aku pindah, para penggemarku—kamu yang bilang itu—akan melupakanku. Kita berdua bisa punya hubungan tanpa ada gangguan."
"Aku kan sudah bilang, aku nggak ingin memberi kesempatan kepada siapa pun. Mau laki-laki itu sekantor sama aku atau nggak."
"Apa yang dilakukan sama mantan pacarmu kepadamu sampai membuatmu menutup hati rapat-rapat seperti itu? Yang membuatmu tidak mau lagi percaya lagi pada laki-laki?" Manal sudah selesai dengan makanannya dan saat ini bisa fokus membahas kepentingannya. Untuk mendapatkan Ava.
"Ini nggak ada hubungan sama dia!" sergah Ava.
"Lalu tentang apa?"
"Tentang aku yang nggak tertarik punya hubungan sama kamu. Atau siapa pun."
"Karena aku belum lama putus sama Disha dan kamu takut aku hanya ingin mencari hiburan? Mencari pelarian? C'mon, Ava! Aku sudah nggak muda lagi, nggak ada waktu untuk berbuat seperti itu. Aku serius mencari pasangan hidup." Usia Manal sudah akan tiga puluh dua tahun—lima bulan lagi—dan bermain-main dengan cinta jelas tidak ada dalam rencana hidupnya.
Usia tidak berpengaruh terhadap keinginan untuk bermain-main. Ava mendengus dalam hati. Ayah Ava semakin tua justru semakin rajin melakukannya.
"Kamu nggak menyukaiku sama sekali ya." Manal menyimpulkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Sepatu Untuk Ava
RomanceDari penulis The Dance of Love dan Right Time To Fall In Love: Pemenang Penghargaan The Wattys 2021 kategori Romance *** "Sepatu yang kuberikan tadi, aku tidak ingin kamu memakainya. Pakai kalau kamu sudah siap untuk melangkah ke dalam hidupku. Siap...