Aku nggak akan pernah capai bertanya, seberapa bahagia kalian hari ini? Skalanya 1 sampai 10 ya. Karena kebahagiaan itulah kunci kita menjalani hidup di masa sulit seperti ini. Sekecil apa pun alasan kebahagiaan, kita harus menggenggamnya. Semoga Manal dan Ava bisa memberimu kebahagiaan ya.
Love,
Ika Vihara(IG/TikTok/Karyakarsa ikavihara, WhatsApp 083155861228)
***
Tatapan Manal tertuju pada laki-laki yang sedang mengobrol dengan Ava. Marking teritory. Manal sedang memberi tahu semua orang di sini bahwa Ava adalah miliknya dan tidak ada seorang pun yang boleh memiliki niat untuk mendekati Ava. Dari tempat duduk Manal tadi, terlihat Ava tertawa akrab bersama laki-laki lain. Manal tidak menyukai itu.
"Ah, Manal, ini teman kuliahku di Singapura dulu. Namanya Arya. Ar, ini Manal. Dia...." Ava menggigit bibirnya, menimbang-nimbang apakan ini saat yang tepat untuk memberi label khusus pada hubungan mereka, sebelum melanjutkan, "Pacarku."
Kedua laki-laki tersebut tidak bergerak untuk salaman. Hanya saling menatap. Mungkin saling menilai di dalam hati. Siapa yang lebih baik daripada siapa. Sikap keduanya membuat Ava bertanya-tanya apa benci pada pandangan pertama benar-benar ada. Memang sewaktu menghadiri resepsi pernikahan mantan pacar Manal dulu, sepupu Ava menyebut Ava pernah pacaran dengan Arya. Tetapi Ava tidak yakin apakah Manal mengingat fakta itu hingga hari ini. Laki-laki memang susah dipahami.
"Ditunggu Tana." Manal mengambil kue pukis dari tangan Ava dan mengajak Ava berlalu dari hadapan laki-laki yang sedang menatap Ava dengan nafsu. Seolah-olah Ava adalah makanan terenak dan terakhir di dunia.
"See you around, Ar." Ava sempat pamit meskipun Manal meminta Ava berjalan lebih cepat.
"Ava!" pekik Tana tertahan ketika Ava kembali duduk di kursi. "Kenapa kamu nggak pernah bilang kalau kamu punya teman ganteng begitu?"
"Kalau kamu tertarik, Tan, kenapa tadi kabur? Nggak ikut ngobrol biar kukenalin." Ava tertawa. "Lagian kamu sudah punya pacar."
"Aku punya pacarnya kapan? Kamu berteman sama dia sejak kapan? Lebih duluan mana?" tukas Tana. "Ya mau sih kenalan, tapi yang di sini kepalanya berasap. Aku nggak mau malu ya, walaupun bakal membanggakan sih melihat dua laki-laki bergumul di lantai karena ... memperebutkan aku."
"Hei, hei, hei!" Fasa protes. "Gimana bisa kalian berdua ngomongin laki-laki lain saat ada kami di sini?"
"Please deh, aku ini cuma jatuh cinta sama kamu, bukannya rabun. Kalau ada cowok ganteng seperti tadi, mataku masih awas buat bisa mengenali. Kamu tolong jangan sok suci, sejak tadi kamu juga ngeliatin cewek-cewek celana gemes itu," tembak Tana.
Fasa menarik kepala Tana ke dadanya dan mencium puncak kepala Tana. "Tapi hatiku kan buat kamu."
"Jadi itu yang dibilang sama Darwin ... old business?" desis Manal.
Oh, ternyata bukan Vara yang menyebut nama Arya dulu. Melainkan suami Vara.
"Kami pernah dekat waktu kuliah dulu. Sudah lama bangetlah."
"Tapi dia nggak pernah berhenti mengharapkan kamu."
Ava menepuk pipi Manal. "Sudah, jangan cemburu begitu. Aku nggak merasakan apa-apa kok. Semua itu sudah berlalu. Lagian tadi dia sudah dengar dengan jelas kalau aku sudah punya pacar. Sudah punya kamu."
"Tahu nggak, Va, Manal terbakar di sini waktu lihat kamu sama si cowok ganteng tadi ketawa bareng. Untung dia nggak mendatangi kamu sambil bawa kursi buat dilempar." Fasa berkomentar dan mendapat ganjaran tatapan membunuh dari Manal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Sepatu Untuk Ava
RomanceDari penulis The Dance of Love dan Right Time To Fall In Love: Pemenang Penghargaan The Wattys 2021 kategori Romance *** "Sepatu yang kuberikan tadi, aku tidak ingin kamu memakainya. Pakai kalau kamu sudah siap untuk melangkah ke dalam hidupku. Siap...