TIGA PULUH Sembilan

10.9K 2.2K 116
                                    

Halo, Semua,

Aku belum membalasi komentar-komentar di bab-bab sebelumnya, karena aku sedang sangat sibuk. Semoga kamu tetap bahagia ya, hari ini dan besok. Sudah naik apa belum level kebahagiaannya? :-) Jangan lupa tinggalkan komentar untukku ya, dan berikan bintang untuk Manal dan Ava. Itu sangat berarti untukku. Aku akan membalas nanti saat aku sudah menyelesaikan tugas-tugasku.

Love, Vihara(IG/Karyakarsa/TikTok ikavihara)

***

The bro is important. Manal mengingatkan dirinya sendiri saat Ava memanggil adiknya, Arvin, untuk dikenalkan kepada Manal. Memang untuk menikah yang paling diperlukan adalah restu orangtua. Tetapi penerimaan dari seluruh anggota keluarga juga penting. Karena itu pekenalan dengan adik laki-laki Ava menjadi perhatian Manal juga. Berdasarkan cerita Ava, Ava dan adik-adiknya sangat dekat. Karena ayah mereka tidak menjalankan tugas dengan baik—masih menurut cerita Ava juga—Arvin selalu ingin menggantikan ayahya, melindungi tiga wanita yang paling berharga dalam hidupnya.

Tampaknya jika Manal ingin menikah dengan Ava, persetujuan dari Arvin jauh lebih penting daripada restu ayah Ava. Menikah? Manal mentertawakan dirinya sendiri. Belum genap sebulan Ava bersedia menyebut Manal sebagai pacarnya, Manal sudah membayangkan pernikahan. Ya memang akan bisa terwujud—karena Manal akan memastikan terwujud—tapi tidak dalam waktu dekat.

"Arvin, kenalkan ini Manal. Pacar Mbak Ava. Manal, ini adikku, Arvin." Ava menarik tangan Arvin, yang menggerutu mengingatkan Ava untuk tidak membawa pulang laki-laki berengsek seperti Harlan atau ayah mereka. "Dia suka naik motor juga seperti kamu. Apa Mbak pernah cerita, Mbak ke Bromo naik motor sama dia, lho." Dengan informasi ini Ava berharap Manal dan Arvin bisa membicarakan satu topik yang sama-sama mereka sukai. Kemudian keduanya bisa akrab.

Manal mengulurkan tangan untuk salaman dengan adik Ava. Jabatan tangan Arvin kuat dan penuh ... ancaman. Tanpa ragu Arvin menatap mata Manal, seolah ingin memberi tahu Manal bahwa Arvin akan selalu mengawasi mereka. Arvin tidak akan diam kalau Manal menyakiti Ava. Di usia yang belum genap dua puluh tahun, Arvin sudah jauh lebih tinggi daripada Ava. Badannya pun sudah mulai berisi. Well, Manal juga akan berpikir dua kali sebelum membuat masalah dengan adik Ava.

"Sebentar ya, aku ambilkan minum dulu buat Manal." Ava beranjak ke dapur setelah menepuk lengan adiknya.

"Kuliah jurusan apa, Vin?" Manal bertanya saat Arvin menjatuhkan bokong di sofa kuning di seberang Manal. Inilah ujian yang sesungguhnya. Apakah Manal bisa membuat Arvin—the man of the family—menyukainya dan tidak menatap Manal seperti Manal membawa pisau di balik punggung dan siap menikam Ava kapan saja?

Arvin tidak segera menjawab.

Manal mengedarkan padangan. Rumah baru Ava, yang belum lama ditempati, nyaman sekali. Di dinding di depan Manal terdapat huruf A besar berwarna hitam. Di sampingnya terpasang tiga bingkai foto berwarna hitam. Masing-masing menampilkan potret bayi. Semuanya hitam putih. Manal yakin bayi-bayi tersebut adalah Ava, Arvin, dan Adeline. Ada satu bingkai lagi berisi foto Ava dan kedua adiknya. Dan bingkai lain berisi foto ketiga bersaudara tersebut bersama Linda. Sepertinya diambil sudah lama, karena Linda memangku bayi dan Ava terlihat sangat muda. Beberapa bingkai lain berisi kutipan berwarna hitam. Love. Hope. Faith.

"Elektro," jawab Arvin singkat.

"Kuliah di luar negeri seperti Ava?"

"Nope. Kalau Mbak Ava disakiti laki-laki lagi, aku nggak akan bisa langsung ke sini dan menghabisinya." Arvin masih menatap tajam Manal.

Manal memasang wajah serius begitu mendengar alasan Arvin memilih kuliah di Indonesia. "Kalau aku menyakiti Ava, kamu nggak perlu repot-repot membunuhku. Aku akan membunuh diriku sendiri."

Sepasang Sepatu Untuk AvaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang