Part 16

914 70 31
                                    

Fildan sudah bersiap untuk kembali ke Indonesia. Tubuhnya masih lelah karena baru beristirahat selama dua hari, tetapi banyaknya tugas membuatnya harus mengakhiri kunjungan singkat ini.

Di belakangnya sesosok gadis bersandar di kepala ranjang sambil menangis lirih. Penampilannya kacau dengan rambut berantakan, air mata dan ingus yang menyebar kemana - mana, juga isi ranjang yang seperti kapal pecah. Jorok memang, namun kalau sudah mode ngambek, jiwa princessnya berganti dengan jiwa Masha and the bear yang berbuat sesuka hati. Rasa rindunya belum selesai. Tetapi ia kembali harus ditinggalkan.

Fildan menoleh padanya dan memberikan senyuman khasnya.

"Sini nak."

Lesti menggeleng dengan wajah tertekuk dan tangan bersedekap.

"Ya udah, Papa pergi."

Lesti menenggelamkan wajahnya di bawah bantal. Melihat itu Fildan panik dan kembali mendekapnya.

"Sudah Les, sudah besar."

Lesti tak peduli, meski napasnya semakin tersengal - sengal karena menangis. Fildan mengangkat tubuhnya agar duduk menghadapnya.

"Udah nangisnya?," ucap Fildan lembut.

"Papa jangan pergi."

Fildan mengambil sapu tangan biru di dalam kemejanya, membasahinya dengan air mineral di meja, lalu membersihkan wajah Lesti. Mata Fildan memerah melihat kondisi sang puteri.

"Udah bersih."

Fildan meletakkan sapu tangannya di tangan Lesti. Dan menaruh sebotol parfum kecil yang biasa ia letakkan di kantung jas atau jaketnya bersama dengan sapu tangan itu.

"Ini parfum mini punya Papa. Kamu simpan. Kalau kamu kangen, kamu bisa hirup aromanya. Dan ini sapu tangan kesayangan Papa. Buatan almarhumah Oma Anita."

"Pa.."

"Belajarlah dengan giat. Kita tidak tahu apa yang terjadi di masa depan."

"Tapi sapu tangan ini."

"Papa ada satu lagi. Kalau yang itu milik Oma sendiri."

Fildan mengeluarkan satu sapu tangan lain yang berwarna merah.

"Merah punya Opa Fadli, biru punya Oma Anita. Sekarang, Papa kasi kamu punya Oma Anita. Papa simpan punya Opa Fadli. Jaga ya. Ini kenang- kenangan yang Papa sembunyikan dari siapapun, kecuali Lesti."

Lesti mengangguk pelan menatap sapu tangan itu, "maaf jadi kotor."

Fildan menggeleng, "sapu tangan ini selalu berada di tangan yang tepat. Siapa yang memegangnya, boleh menggunakan sesuka hati, yang penting jangan dirusak apalagi dibuang."

"Okay Pa."

"Papa pamit," Fildan merapikan rambut Lesti, "jangan kembali tanpa membawa kebanggaan yang Papa titipkan padamu. Atau kamu tidak akan bisa bersama Papa lagi."

Kata - kata lirih namun penuh penekanan itu membuat Lesti menegang. Lesti takut ditinggalkan sang Papa. Apalagi sepengetahuanya, Fildan tidak pernah bermain - main dengan perkataannya.

"Lesti janji akan belajar dengan baik dan bikin Papa bangga."

Fildan mengangguk sekali dan berjalan keluar kamar Lesti. Di luar, Fildan disambut dengan tatapan jengah sang kakak angkat, Reza.

"Mana Lesti?."

Fildan menunjuk dengan dagunya kepada sosok yang ditanyakan Reza itu.

"Hei, kok kucek gitu?," ceplos Reza yang dihadiahi cubitan manja sang isteri.

My Sugar Duda (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang