"Makasih mbak." Kanaya dan Jane keluar dari Alfamart dengan sekantong penuh ice cream dan beberapa camilan.Walaupun sudah mendapatkan sumpah serapah dari seisi kelas, Kanaya tak mau ambil pusing. Gadis itu malah mengajak Jane untuk ngemil. Ya, Jane tadi bisa menyusul Kanaya, tentunya ia tak lupa untuk menabok sahabatnya itu.
"Untung gue pemaaf Nay, kalau nggak udah gue jadiin pajangan dinding lo," sarkas Jane lalu menoyor perlahan kepala Kanaya.
Kanaya berdecih. "Iya, iya, Jane yang pemaaf, nggak usah banyak ngomel lo, Ini kita mau makan dimana?" tanya Kanaya sembari menggantungkan belanjaan mereka pada gantungan motor Beat milik Jane.
"Rumah lo aja lah."
"Jangan!"
Jane tersentak, pasalnya Kanaya menjawabnya dengan cepat. Jane menatap Kanaya curiga. Ia merasa ada yang sedang Kanaya sembunyikan darinya. Karena, bukan hanya sekali melainkan sudah terhitung lima kali Kanaya selalu menolak jika Jane ingin pergi ke rumahnya.
"Aish, lo mah selalunya kayak gitu. Kemarin juga gue mau ke rumah lo, lo bilang nggak boleh. Emang kenapa sih?" tanya Jane penasaran sekaligus terlihat kecewa.
"Gue juga udah jarang loh ketemu sama Bunda," sambungnya membuat Kanaya mendesis pelan.
"Ya-ya pokoknya jangan! Bunda gue baik-baik aja kok, mending di rumah lo, gue juga kangen loh sama Oma," balas Kanaya memasang wajah memelas berharap Jane tidak lagi bertanya.
Jane berdecak pelan. "Ya tapikan—"
"Ah, bawel lo! Gue tuh nggak mau ganggu Bunda sama Papa. Mereka tuh setiap hari berduaan mulu, gue nggak mau jadi nyamuk."
Jane terdiam. Sedetik kemudian, ia terbahak. "Hahahaha, kasian banget lo, makanya cari pacar sono!" ejek Jane masih dengan tawa menyebalkannya membuat Kanaya mencebik kesal.
"Dih nggak ngaca, orang dia sendiri nggak punya pacar," lirih Kanaya lalu menaiki motor Jane yang siap melaju.
•••
Pukul 19.00 PM
Setelah semua camilan yang mereka beli tadi sudah dimakan habis, Kanaya memutuskan untuk mengerjakan tugas tambahan yang diberikan oleh Bu Susi tadi, di rumah Jane.
Mau bagaimana pun kan, ini adalah ulah dirinya. Kalau ia tak cepat-cepat mengerjakannya, Bu Susi pasti akan menambahkan hukuman untuknya.
"Salah tuh."
"Masa soal kayak gitu aja gak bisa dikerjain."
Kanaya mendelik tajam ke arah Jane. Telinga Kanaya serasa memanas mendengar Jane yang tak ada henti-hentinya berbicara. Mulai dari mengejeknya, mengomentari tulisannya, sampai mengomel karena Kanaya menulis sangat lambat.
Sebenarnya, Kanaya bukannya tidak bisa mengerjakan soal itu. Namun, Kanaya hanya tidak tahu.
"Lo tuh jahat banget sih, bukannya dibantuin malah ngata-ngatain!" kesal Kanaya lalu menutup bukunya dan menaruh pulpen hitamnya diatas buku itu. Ia jadi tidak mood lagi untuk mengerjakan tugasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kanaya
Teen Fiction[DIWAJIBKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA!!!] [Cover by pinterest] Kanaya kira, dia bisa menyentuh kebahagiaan. Kanaya kira, rasa sakit yang dia rasakan hanyalah sementara. Kanaya kira, kasih sayang yang ia dapatkan adalah nyata. Ternyata tidak. Sayangnya...