Kanaya pun membaca tulisan itu dalam hati.
'Jangan nangis terus. Lihat lo lebih cantik kalau lagi senyum.'
Kanaya tidak tahu harus berekspresi seperti apa setelah membaca tulisan itu. Namun, ada satu hal yang mengisi kepalanya. Apa mungkin Kai memang menyukainya seperti apa yang Jane katakan? Kanaya sebenarnya tak ingin berpikiran sampai sejauh itu. Tapi, tetap saja ia jelas merasakan sikap Kai yang selalu memberinya perhatian lebih.
Namun, Kanaya harap itu hanya perasaannya saja. Ia tak ingin melibatkan perasaan lebih di dalam pertemanannya dengan Kai.
"Oi, mikirin apa lo?" Kedatangan Jane membuat lamunan Kanaya seketika buyar.
Melihat apa yang ada di tangan Kanaya, Jane pun tanpa izin langsung mengambilnya. "Keren banget!" seru Jane. "Ini lo yang gambar?" lanjut Jane bertanya.
Kanaya menggeleng sebagai jawaban. "Terus?" tanya Jane menunggu jawaban Kanaya selanjutnya.
"Kai."
Ekspresi Jane seketika berubah mendengar penuturan Kanaya. Gadis itu tersenyum penuh arti. "Tuh kan, gue bilang juga apa. Kai tuh suka sama lo, Nay. Nih, dia juga bilang lo cantik." Jane menunjuk tulisan yang tertera di ujung kanan bagian bawah kertas itu.
"AAAA AKHIRNYA CAP JOMBLO SEORANG KANAYA BENTAR LAGI HILANG!" teriak Jane kegirangan membuat Kanaya spontan menutup mulut gadis itu.
"Nggak usah teriak-teriak!" Kanaya meringis malu menyadari saat ini mereka menjadi pusat perhatian. "Udah gue bilang kalau gue sama Kai nggak ada hubungan apa-apa, dia temen gue," tekan Kanaya tak mau membuat siapapun salah paham.
"Yah... kok gitu sih? Padahal kalau dilihat-lihat kalian cocok tau," sahut Jane kecewa.
"Mata lo cocok! Kemarin juga lo bilang kalau gue cocok sama Bagas, sekarang sama Kai. Semuanya aja lo cocokin sama gue!" geram Kanaya ingin mencakar wajah sahabatnya itu.
Jane hanya menyengir tanpa dosa membuat Kanaya mendesis pelan. Kanaya kemudian duduk di bangkunya diikuti oleh Jane. Selang beberapa menit kemudian bel masuk pun berbunyi.
•••
Sudah menjadi keharusan bagi Kanaya untuk ke Rumah Sakit setiap ia pulang dari sekolah, begitu pun hari ini. Kanaya membuka pintu ruangan bundanya. Namun, ia tak langsung masuk. Netranya masih terpaku pada seorang pria paruh baya yang sedang duduk santai di sofa berwarna hitam itu. Pria itu adalah Dirga, Papanya.
Lona maupun Dirga menujukan pandangan ke arah yang sama. Namun, detik berikutnya Dirga langsung memalingkan wajahnya.
"Kenapa, Nay? Kok kamu nggak masuk?" tanya Lona sembari tersenyum kepada Kanaya.
Dengan ragu Kanaya memberanikan diri untuk melangkah masuk. Gadis itu berjalan mendekati bundanya yang terbaring lemah.
"Kenapa orang itu ada di sini, Bunda?" tanya Kanaya tak menatap Dirga sedikit pun. Namun, Lona pasti tahu siapa yang putrinya itu maksud.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kanaya
Teen Fiction[DIWAJIBKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA!!!] [Cover by pinterest] Kanaya kira, dia bisa menyentuh kebahagiaan. Kanaya kira, rasa sakit yang dia rasakan hanyalah sementara. Kanaya kira, kasih sayang yang ia dapatkan adalah nyata. Ternyata tidak. Sayangnya...