Arkan masih memeluk Kanaya erat, sementara gadis itu masih terus menumpahkan kesedihannya. Saat sudah sedikit tenang, Kanaya perlahan melepaskan pelukan Arkan.
Kanaya menunduk dalam dengan rambut yang sangat berantakan. Hening beberapa saat sebelum akhirnya Arkan menarik dagu gadis itu hingga mata mereka bertemu. Mata sembab itu tak mampu lagi menutupi penderitaan yang selama ini ia sembunyikan dalam-dalam.
Arkan mampu membacanya bahkan merasakan semua kepedihan yang Kanaya rasakan. Walaupun ia tak tahu persis, namun siapapun yang melihat Kanaya saat ini pasti akan merasakan sesak di dada. Karena siapa sangka, Kanaya yang tak pernah melunturkan tawanya, ternyata mempunyai kehidupan yang begitu menyedihkan seperti ini.
"Lo bisa berdiri?"
Kanaya hanya mengangguk dan ketika ia mencoba untuk berdiri, rasa sakit di sekujur tubuhnya membuat Kanaya hampir terjatuh kalau Arkan tidak sigap menahannya.
"Biar gue bantu." Arkan meraih lengan Kanaya dan ia kalungkan di lehernya. Lelaki itu memapah tubuh Kanaya yang sulit berjalan, dengan sangat hati-hati Arkan membawa Kanaya ke kamar gadis itu.
Ketika sampai, Kanaya mendudukkan dirinya pada kasur empuk miliknya. Arkan ikut mendudukkan dirinya di samping Kanaya.
"Kenapa lo ke sini?" tanya Kanaya tanpa menatap Arkan.
"Lo baring aja dulu, gue nggak lama," ujar Arkan tak menjawab pertanyaan Kanaya kemudian langsung melenggang pergi.
Kanaya hanya bisa menatap punggung tegap Arkan yang perlahan menghilang di ambang pintu. Kanaya masih terduduk, kepalanya memutar kejadian kemarin. Hal itu kembali merobek hatinya. Tak ia sangka papanya akan sejahat itu kepadanya.
"Bahkan di mata papa gue nggak ada artinya dibandingkan perempuan itu," lirih Kanaya, tak sadar air matanya kembali jatuh.
Kanaya menghapus kasar air matanya, namun air mata berikutnya kembali jatuh dengan deras membasahi pipinya.
Selang beberapa menit, Arkan pun kembali membawa salep yang sudah ia beli. Namun, ia tersentak melihat Kanaya yang sedang sesegukkan sembari menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
"Udah nggak usah nangis." Arkan duduk di samping Kanaya kemudian menyingkirkan kedua telapak tangan gadis itu dari wajahnya. Arkan bahkan menghapus lembut air mata yang membasahi pipi Kanaya.
Kanaya menggigit bibir bawahnya, mencoba untuk berhenti. Namun, tetap saja air matanya tak mau berhenti keluar.
Kanaya yang sedang sesegukkan, memegangi dadanya yang begitu sesak. Rasanya seperti dua batu besar menghimpit dadanya kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kanaya
Teen Fiction[DIWAJIBKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA!!!] [Cover by pinterest] Kanaya kira, dia bisa menyentuh kebahagiaan. Kanaya kira, rasa sakit yang dia rasakan hanyalah sementara. Kanaya kira, kasih sayang yang ia dapatkan adalah nyata. Ternyata tidak. Sayangnya...